Rumah yang kami tinggali ini tidak sesuram dan semenyeramkan kelihatannya, kok. Agak berjarak memang dengan deretan rumah yang lain, tetapi menurutku aman-aman saja. Malah terkesan lebih hening dan tenteram apa lagi saat malam. Marno saja yang parno-an entah emang karena dia penakut atau sudah termakan dengan film horor yang ia tonton.
"Fik, kamu betah tinggal di kosanmu?"
"Betah-betah aja," jawabku santai.
"Sendirian? Kamu enggak takut?" Mata Marno meragu.
"Ya elah, No, No. Kalau enggak betah, aku enggak bakal milih ngekos di sinilah, gimana sih?
"Serius, Fik. Kosan kamu ini horor banget. Pake cerobong segala lagi kayak rumah vampir," gerutu Marno.
"Kamu mikirnya kejauhan, bro. "Kan aku enggak sendirian juga. Ada Pak Dibyo, tetangga kamar sebelah." Aku menjawab yakin.
Pak Dibyo memang sudah lama kerja di pabrik gula. Ia lebih sering dijadwalkan untuk shift malam ketimbang siang. Baginya tidak apa-apa karena menurutnya siang dan malam sama saja. Selagi bisa bertahan hidup dan menafkahi keluarga yang tinggal di kampung. Menurutku Pak Dibyo itu orang baik, sangat baik malah. Ia sering kali berbagi makanan. Aku tidak pernah diberi kesempatan menolak. Tidak baik menolak rejeki, katanya. Lama-lama aku merasa menjadi beban untuk Pak Dibyo, padahal aku bukan siapa-siapa, cuma anak indekos yang kebetulan tinggal serumah.
"Kamu anak baik, Fik. Dengan kamu yang mau ngekos di sini, Bapak jadi ada teman," kata Pak Dibyo. "Baik dan tinggal di sini emang ada hubungannya, Pak?" kataku. "Ya, iya. Udah lama, nggak ada yang mau nge-kos di sini. Hampir tujuh tahun. Bapak cukup kesepian." Pak Dibyo menerangkan.
Pak Dibyo bercerita bahwa ia sudah tinggal di sini hampir 15 tahun. Dulu ia baru punya anak satu ketika mulai bekerja di pabrik gula. Pulangnya hanya pas lebaran idulfitri. Itu pun cuma sekali karena bagi beliau ongkos pulang sudah lebih baik dikirim saja ke istrinya untuk mencukupi kebutuhan. Aku gampang terharu dengan penuturan Pak Dibyo. Mungkin mengingat aku juga begitu. Sudah lama lupa dengan wajah Bapak karena sudah meninggal diumurku yang ketiga tahun. Ibu hanya bilang kalau Bapak itu saya sama kami semua. Perjuangan bapak luar biasa untuk keluarganya sampai rela jauh dari kami supaya hidup kami terus berlanjut.
"Fik, saranku, kamu pindah aja, deh. Nggak papa jauh dari sekolah, yang penting kamu enggak ngekos di sini." Marno memelankan suaranya bahkan hampir berbisik. "Atau kalau nggak, kamu harus seriusan tanya ibu kosmu, kenapa nggak ada lagi orang yang mau kos di situ meskipun posisinya persis di depan sekolahan kita," tandas Marno.
Atas saran Marno, aku memberanikan diri bertanya kepada ibu kos tentang Pak Dibyo. Muka panik Marno masih membayang di otakku saat tahu aku ngekos di rumah papan depan sekolah.
"Maaf, Nak Fiki. Ibu... Ibu nggak kasih tahu yang sebenarnya." Muka Ibu Yati berubah sedih.
"Pak Dibyo sudah meninggal 7 tahun lalu."
Aku kaget. Bulu romaku berdesir. Bukan karena penuturan Bu Yati sebab sejak obrolan terakhir dengan Marno aku sudah mempersiapkan diri. Aku tidak siap saja karena dugaan Fiki tidak meleset. Aku yakin, dia akan mengejekku setelah ini karena kemarin aku ngotot kosku aman-aman saja.
Dari cerita Bu Yati aku dapat informasi tambahan tentang Pak Dibyo. 15 tahun yang dikatakan Pak Dibyo bukan waktu yang sebenarnya, melainkan delapan tahun saat ia hidup ditambah tujuh tahun setelah ia menjadi arwah penasaran. Ia meninggal di kamar kosnya setelah cukup lama bertahan dengan gangguan pernapasan. Bu Yati mengingatkanku untuk tidak pernah takut. Katanya arwah Pak Dibyo itu baik, tidak akan mengganggu. Aku setuju dengan Bu Yati.
"Tenang aja Bu Yati, lagian aku sering dikasih makanan sama Pak Dibyo," kataku.
Bu Yati terperanjat kaget, "Terus kamu makan gitu?"
Aku mengangguk.
"Harusnya jangan dimakan. Mungkin di matamu itu makanan, tetapi aslinya bukan. Bisa jadi..." Bu Yati menggantung kalimatnya.
"Apa, Bu?"
"Entahlah... bisa jadi tanah, cacing, belatung atau apalah...." Bu Yanti menjawab sekenanya.
Membayangkan semua yang dikatakan Bu Yati, ada gejolak tidak nyaman dari dalam perutku. Badanku terasa dingin. Semua hal menjijikkan memenuhi kepalaku sehingga aku tidak bisa menahan mual. Aku berlari ke dapur Bu Yati memilih wastafel yang lebih dekat daripada ke toilet. Untung perutku masih kosong. Tidak ada yang kukeluarkan selain cairan yang terasa pahit di lidah. Setelah merasa lega, aku kembali ke posisi semula. Bu Yati menatapku iba.
"Terus saya harus bagaimana, Bu?" Aku mulai merasa takut.
"Nggak papa. Cobalah untuk tetap terlihat tenang. Jangan lupa dekatkan diri sama yang Maha Kuasa."
Ah, nasihat paling umum kalau sudah berhadapan dengan makhluk tak kasat mata. Bisa dibilang tidak cukup membantu untuk saat ini.
"Kalau saya pindah gimana, Bu?"
"Eh, jangan begitu. Itu bisa buat arwahnya marah. Terlebih Pak Dibyo sudah telanjur seneng sama kamu," cegah Bu Yati.
"Bu Yati benar. Kalaupun kamu mau pindah. Saya ikut."
Suara berat laki-laki di belakangku tiba-tiba membuat tubuhku kaku. Begitu juga dengan Bu Yati. Kami saling tatap dengan muka perlahan memucat. Bu Yati berusaha memutar kepala. Aku mengikuti. Mulut kami sama-sama menganga. Sosok yang kami bicarakan sedang berdiri di sana sambil tersenyum. Kalau Pak Dibyo benar-benar bisa mengikut, maka satu teori tentang arwah penasaran yang terpatahkan adalah hantu itu nggak melulu terjebak di tempat di mana ia meregang nyawa.
***
Kejadian kemarin memantapkan keputusanku untuk pindah rumah. Untuk sementara aku tidak memberitahu Marno. Aku sudah langsung terbayang muka songongnya yang jauh lebih menyebalkan.
Sehari dua hari aman. Tidak ada pengalaman mistis atau semacam gangguan. Aku mengaku senang juga tinggal di rumah kos yang baru saat menelepon ibu kemarin. Ibu juga kelihatan senang rumah ini kelihatan lebih cerah katanya. Namun, belum genap satu minggu, barulah keanehan itu mulai datang.
Aku dibangungkan oleh derit papan kayu yang mungkin memuai serta langit-langit papan berwarna cokelat kuat itu membuatku sadar betul kalau aku sedang tidak berada di kamar kosku yang baru. Dengan penerangan yang agak redup lain dari biasanya. Udaranya agak dingin dan kulitku tidak terbiasa.
Tok... Tok... Tok
"Fiki"
Tubuhku menegang. Ketukannya terasa asing. Suaranya memang milik Pak Dibyo, tetapi terasa lebih dingin.
Namaku dipanggil berseling dengan ketukan tak wajar. Aku merasa bajuku telah menempel dengan punggung karena basah dengan keringat. Ingin sekali aku menjawab, tetapi aku takut dibalik pintu itu Pak Dibyo tidak lagi seperti yang kukenal sebelumnya.
Ceklek
Gagang pintu bergerak. Derit pintu yang harusnya terdengar biasa serasa mencekam. Entah makhluk apa yang akan muncul dari balik daun pintu. Dadaku beredegup kencang. Aku tidak siap dengan skenario terburuk yang mungkin terjadi. Bisa jadi aku mati malam ini.
"Nak Fiki, kenapa tidak jawab Bapak?"
Aku mengembuskan napas lega selega-leganya. Pria dewasa yang tampak dihadapanku jauh dari yang kubayangkan. Ini sekaligus mematahkan gambaran hantu menyeramkan penuh dengan borok atau luka membusuk yang menganga dan menjijikkan. Pak Dibyo tetap sama seperti saat awal aku mengenal beliau. Perawakan yang tinggi, pembawaan yang tenang dan senyum ramahnya. Aku sudah bisa menggerakkan tubuhku dan segera duduk.
"Pak, kenapa saya kembali lagi ke rumah ini?" Aku seperti sedang berbicara dengan orang betulan sekarang.
"Bapak tidak punya jawabannya, tetapi Bapak merasa ada semacam ikatan yang menarik kamu ke sini," ujarnya.
"Maksudnya gimana, Pak?"
"Bapak merasa sudah lama mengenal kamu."
Aku mengerutkan dahi. Benarkan hantu punya perasaan semacam itu? Masih berpikir tentang teori yang seringkali dipakai pada cerita horor. "Maaf, Pak, kalau lancang. Katanya setiap arwah penasaran selalu punya urusan yang belum selesai di dunia ini. Bapak punya jugakah?"
Pak Dibyo mengusap-usap dagu. Untuk beberapa lama aku menunggu jawaban. Pak Dibyo menegakkan badannya. Ia menarik napas panjang. Sepertinya ia sudah mendapatkannya lalu mengembuskannya lesu. Aku menatap Pak Dibyo, menunggu kata-kata meluncur dari mulutnya.
"Ah, Bapak nggak tahu, Nak."
Aku menghela napas pasrah.
"Nak Fiki, kamu tidak takut sama Bapak?"
Aku menggeleng cepat. Sejujurnya sejak awal aku tidak pernah merasa takut melihat Pak Dibyo. Nasihat-nasihat Marno yang lebih mengarah ke parno pun aku sudah buang. Pak Dibyo seperti manusia pada umumnya, bedanya aku hanya tidak bisa menyentuhnya. Ia seperti asap yang mengepul membentuk rupa manusia. Itu pun baru kusadari sekarang. Seperti yang kubilang tadi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan, tidak hancur dan tidak busuk. Kalau bentukannya begitu, mungkin aku sudah lari terbirit-birit sejak pertama kali.
Ponselku di atas nakas bergetar. Ada panggilan masuk. Aku mengusap ikon merah lalu meletakkan kembali.
"Kenapa nggak diangkat?" tanya Pak Dibyo.
Mulutku berdecak, "Lagi kesel, Pak. Biarin aja."
"Ibukmu?"
Aku mengangguk. Bibirku manyun.
"Namanya siapa?" tanya Pak Dibyo. Aku mengangkat kepala. Alisku bertaut. Mata kami bertemu. "Bapak tadi sempat lihat, sepertinya namanya mirip dengan istri Bapak."
Tanpa melepas tatap dari Pak Dibyo, aku menjawab pelan, "Sri Restianingsih."
Bola mata Pak Dibyo membesar. Ia terus melihatku bahkan hampir tidak berkedip.
"Nak, sepertinya kamu memang ditakdirkan tinggal di sini bersama Bapak."
Aku membelalak. Dadaku bergemuruh hebat. Ada semacam bendungan emosi yang ingin meluap begitu saja.
"Bapak?"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI