Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelah Tidak Tinggal di Sini

30 Maret 2022   14:22 Diperbarui: 31 Maret 2022   17:35 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pdnpulse.pdnonline.com/2018/05/poverty-tourism-travel-photography.html

Aroma plastik terbakar bercampur bacin sisa makanan busuk, bukit-bukit sampah sejauh mata memandang. Sisa-sisa peradaban manusia yang konon maju, luhur budinya dan senang dengan keteraturan.

Manusia pandai menghitung ini, itu, mencipta ini dan itu, lengkap beserta tanggal kadaluarsa-nya. Label harga-harga, juga lengkap dengan jangkauan ekonomis-nya sendiri-sendiri, tidak lain untuk servis belaka.

Semua barang yang baik di gunakan sebelum tanggal tertentu, dirawat betul, dipakai sampai puas. Kemudian setelah buruk, semuanya berdatangan kemari, ke tempat yang saya pijak sekarang ini.

Tanah gembur yang menyenangkan untuk diinjak seandainya tidak bau busuk dan bikin kotor. 

Saya merasa tidak asing dengan situasi yang sedang saya alami sekarang ini. Perasaan lucu yang tercipta saat menginjak bukit sampah ini, bau busuk dan pemandangan ini, seperti pernah saya alami. 


Deja vu, gumam saya yakin.

Sepeda bekas yang saya temukan di hadapan saya tolok ukurnya, seolah-olah saya mengenal betul sepeda itu seperti anggota tubuh saya sendiri.

Tanah di bawah kaki saya menghamburkan kecoa saat saya pijak, tidak ada jijik, makhluk itu adalah penyelamat perut kami saat paceklik, disatai paling lumrah.

Saya meneliti apa-apa saja yang masih dapat saya manfaatkan dari sepeda ini; persis seperti ingatan saya, sepeda ini dalam kondisi bagus, memang cat-nya sudah memudar dan terdapat goresan di sana-sini, tapi masih bisa saya gunakan.

Saya memang pernah bermimpi memiliki sebuah sepeda,bukan mimpi dalam tidur, keinginan lebih tepatnya, namun segera saya menafikan keinginan saya itu sebelum sempat terucap dan memperparah kondisi bapak.

Tidak adil membebani pikiran orang tua itu, sedangkan menopang kesadaran dirinya sendiri saja kerlap-kerlip. Memang dulu bapak adalah orang yang tekun dan cekatan, tak kenal lelah;

Saya tuntun sepeda milik saya dan segera membawanya pulang supaya tidak diakui pemulung lain. Disini orang bisa saling bunuh perkara rebutan sampah, sebab sampah adalah dagangan kami, produk kami.

Semakin baru dan berfungsi produknya semakin mahal harganya, walau sebenarnya tidak dapat disebut baru juga, tapi tengkulak akan menghargainya lumayan, cukup untuk mengisi perut. Sepeda ini salah satunya.

                              ***

Saya lihat bapak masih sembujung diatas tikar, dalam rumah yang kami bangun dari sampah-sampah yang kami temukan. Ibu adalah orang yang cermat dan bapak orang yang cekatan.

Keduanya menjadi pasangan yang sempurna dan saling melengkapi. Rumah kami bukti cinta mereka berdua.

Seandainya dipotret, atau dilukis oleh seniman yang bukan kampungan tentu rumah kami jadi karya yang luar biasa indah, sebab kami membangunnya juga tidak asal-asalan, harus rapat supaya air tidak menetes deras saat hujan.

Saya yang menemukan salah banyak lubang di rumah kami itu, dan menambalnya sampai dapat mengurangi tempo tetesan hujan dari setiap detik sampai menjadi lima belas detik sekali.

"Luar biasa" puji bapak waktu itu
Saya menanggapi dengan senyum kemenangan.

"Bapak boleh tekun dan cekatan dan tak kenal lelah dalam bekerja, tapi saya tak kalah gemilang"
Kata saya, bapak tersenyum dan berkata.

" Tetaplah berjuang nak, bapakmu ini adalah orang yang tak kenal lelah, rumah ini saksinya, almarhum ibumu saksinya"

" Iya pak" saya menegaskan kedigdayaannya di masa lalu.

Bapak memang tak kenal lelah, bahkan dalam suatu kesempatan, pernah saya perhatikan bapak sampai tahu apabila lelah akan menjabat tangannya.

Bapak akan mengotori kedua tangannya dengan sampah basah, memanggul setumpuk sampah -sampah pilihan di punggungnya dan memeluknya seperti sedang memeluk ibu di malam jumat.

Rupanya perbuatan itu membuat lelah sampai jijik dan kabur pontang-panting.

Kadang saya berfikir kemana lelah pergi, karena sejak orang-orang disini tahu cara mengusirnya, lelah tidak pernah kemari.

Saya tebak arahnya ke kota, tempat manusia bersih tinggal, tempat manusia pintar tinggal, tempat manusia gembira tinggal.

Sebab disini tidak ada tempat untuk lelah.

Tempat ini telah di kuasai oleh lapar.

Bertahun-tahun sejak manusia pertama datang kemari, mungkin sejak sampah-sampah pertamakali datang.

Lapar tak membiarkan kami lelah, dan lapar tetap berkuasa sampai hari ini, saat saya meneruskan tanggung jawab bapak, dan mungkin sampai bukit sampah semakin tinggi dan menelan kami hidup-hidup.

" Saya senang seandainya lelah sudi datang kemari"

" Mengapa?" tanya bapak suatu ketika

" Sebab saya akan ajak dia berkenalan dengan lapar"

" Lalu?" 

" lalu saya tidak akan merasa lapar lagi sebab lapar sudah lelah datang pada saya, benar tidak?" seloroh saya 

Bapak tertawa, ibu juga.

                                                                                                                        **

Saya kembali menelusur ke bukit yang lain, cermat-cermat saya kais tanah gembur itu dengan pengait saya. Memang saya termasuk yang berprestasi dalam pulung-memulung, kecermatan yang saya warisi dari ibu dan keterampilan dari bapak yang cekatan.

Satu-satunya kebolehan yang saya dapat dari tempat ini. Anak-anak berseragam itu pasti tidak mampu memulung sebaik saya.

Kembali ingatan aneh kepyar dalam kepala saya, seakan saya pernah mengalami dulu-dulu; Ada seorang gadis di hadapan saya sedang mengais botol bekas. Menyatu dengan ingatan dalam kepala saya, seolah-olah saya tahu apa saja yang akan dia lakukan selanjutnya, dan tebakan saya tidak salah.

Saya seperti melihat masa depan walau singkat. Gadis itu berlaku persis seperti apa yang saya andaikan dalam kepala saya. Gerak-geriknya, caranya berjalan, kemana gadis itu menghunuskan pengait, warna rambutnya yang pirang, matanya yang cekung, badannya yang ceking dan bajunya yang cemong. Saya yakin betul pernah melihatnya, saya yakin pernah mengalami ini.

Seandainya saya bisa merogoh ingatan saya keluar seperti sebuah gulungan film bekas yang sering saya temukan. Saya akan memperlihatkan pada gadis itu dengan cara diterawang ke langit, dan berkata bahwa dialah gadis yang ada dalam lembaran film itu.
Tapi toh saya hanya menyapa dan melirik saat dia berjalan melewati saya.

                                                                                      **
Sebungkus nasi berhasil saya bawa pulang. Hasil penjualan kardus dan botol bekas, tak tau lah setelahnya bakal dipakai untuk apa, yang jelas perut saya dan bapak harus terisi malam ini. Seandainya saya jual sepeda yang tadi saya temukan, saya akan ungkang-ungkang selama dua hari tak perlu memulung.

Tapi bapak akan ngomel, sebab bagi-nya itu masuk ke ranah malas, dan malas timbul karena lelah dan lelah adalah musuh besarnya. Tidak rela bapak membiarkan anaknya berpihak pada musuh.

Untung bapak punya langganan penjual nasi. Sedari dulu bapak dan ibu sering berlama-lama menghabiskan waktu di warung itu kenang bapak sambil makan. 

" Tempatnya tersembunyi, cocok sebagai tempat orang-orang seperti kami" katanya

" Saya juga sering lari kesana waktu ada razia" saya membenarkan

" Bapak bangga padamu mus"

" Makan pak, sudah waktunya bapak berjaya kembali" saya mempersilahkan, bapak meng awe-awe kearah saya untuk ikut menyatap nasi

" Baiklah nak, sekarang ceritakan tentang gadis yang tadi kamu temui?"
" Bagaimana bapak tahu?"
" Matamu memberitahukannya"
" Bagaimana bisa mata menyampaikan berita pak?"
" Jangan meremehkan bapakmu ini, anak muda. bukankah dia cantik?"

saya mengangguk

" Bapak juga mengalami nya saat bertemu ibumu, Bukankah kamu tahu begaimana gerak-geriknya seperti sedang melihat masa depan he ?. Bukankah kamu merasa pernah melihatnya di masa lalu ?, Bukankah kamu ingin "

Kalimatnya berhenti dihadang batuk yang berkelompok. Bapak sampai susah mencari nafasnya setelah pengeroyokan itu.

" Bukankah kamu ingin menunjukan isi kepalamu padanya seketika itu juga?"

" Benar pak" saya menyodorkan air putih yang saya timba di sumur warung langganan bapak. Sebenarnya tidak baik memberikan air mentah pada orang sakit. Tapi air bersih tak sanggup kami beli, sudah di perbolehkan menimba dari di sana saja alhamdulillah.

" Pergilah dari sini nak, klumus anakku,tidak ada masa depan di sini. Pergi dan bawa larilah gadis yang kau taksir itu. Saya berani bertaruh orang tuanya akan senang sebab bebannya pindah padamu. Saya dengar lelah datang kemari dan saya akan menjamunya demi kebaikan umat ini"

Tiba-tiba bumi berguncang, suara buldoser meraung-raung. Belum sampai terbit matahari pagi, sudah muncul gunung baru di hamparan tanah lama. Bukit-bukit menjadi gunung dan gunung-gunung ditimbun sampai menjulang. Manusia modern memang lebih sakti daripada bandung bondowoso.

" Bapak lelah nak"

Kata yang sering saya nantikan keluar dari mulut bapak saya yang perkasa ini dan sampai sebelum malam ini datang kata itu tidak pernah terucap. Saya duduk tepekur, mendengarkan pesan bapak yang mungkin saja adalah pesan terakhirnya, sama seperti pesan ibu saat akan pergi.

" Tentu tuhan menciptakan lelah ada maksudnya, bapakmu ini yang tidak tahu membacanya. Lelah adalah pertanda, bersahabatlah dengannya tapi jangan terlalu dekat. Sewajarnya saja dalam berteman. Lelah akan membantu mu menemukan jalan lain, menemukan tempat lain, berjuang demi keinginan lain dan menikmati istirahat."
" Kau ingat bapakmu ini pernah menolak lelah ?, tidak ada untungnya!"
" Jika tahu lelah seindah ini, tidak akan aku mengusirnya. Ibumu juga berkata lelah sebelum meninggalkan kita

" Dan sejak itu bapak mencari-cari siapa lelah sebenarnya" tanyaku.
Bapak mengangguk, kemudian melanjutkan.

" Pergilah dari sini nak!. Tidak ada masa depan disini"
" Lihatlah dia sudah ada disampingku sekarang. Tidak kah kau lihat anakku

Datang seorang perempuan tua keriput dengan mata sayu dan baju compang-camping mendekap bapak, Membelainya seperti ibu membelaiku waktu dulu.

" Ternyata lelah sosok yang cantik , persis seperti ibumu"
" Aku senang kamu datang kemari lelah" kata bapak sambil menikmati belaian perempuan misterius itu.

Sepertinya perempuan itu akan merawat bapak selama saya pergi, berlebihan apabila memikirkanya terus-terusan. Saya juga tidak sabar membonceng gadis manis itu dengan sepeda saya ini

Kemudian pergilah pemuda itu tanpa sempat menguburkan jasad ayahnya. Lagi pula tanah disana bukan tanah yang benar2 benar tanah, batin pemuda itu. Tak dapat mengubur jasad, bau busuknya juga akan tersamar dengan bau-bauan lain yang lebih dulu tinggal.
                             

                                                                                    **

Benar katamu pak, untung saya pindah dari tempat terkutuk itu. Tidak salah yang bapak bilang dulu

" Salah satu cara untuk tetap bertahan hidup adalah dengan cara menerima kenyataan hidup dengan keikhlasan"


Setelah saya menerima lelah dengan ikhlas, saya malah tidak lelah lagi.

Saya sudah kawin sekarang pak, tentu dengan gadis yang saya ceritakan padamu. Mas kawinnya sepeda bekas saya itu. Bapaknya senang dengan sepeda bekas

Omong-omong menantumu senang dengan tempat barunya ini, Kami akan menjadi tuan sebentar lagi. Disini sampahnya masih sedikit, belum sampai bergunung-gunung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun