Mohon tunggu...
Randy Tandjung
Randy Tandjung Mohon Tunggu... Culture Enthusiast

Penikmat sejarah aktif di Komunitas Svaraya, peneliti di Aliansi Budaya Rakyat (ABRA)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perpustakaan: Dari Tempat Bermain Anak Hingga Tempat Lahirnya Gagasan

18 September 2025   16:05 Diperbarui: 18 September 2025   16:19 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang perpustakaan, didekorasi dengan gaya lama. FOTO/Istock 

Definisi sederhana perpustakaan adalah tempat menyimpan berbagai jenis bahan bacaan (Taslimah Yusuf: 1996). Perpustakaan, di era modern ini adalah tempat dimana masyarakat bisa menemukan berbagai macam buku, majalah, jurnal dan sebagainya untuk menambah pengetahuan, mencari informasi atau sekedar rekreasi.

Dari definisi tersebut, alam semesta sejatinya adalah perpustakaan yang tak pernah tutup. Tidak mengenal jam operasional dan hari libur. Masyarakat prasejarah membaca alam semesta dan memperdebatkannya, mulai dari keberadaan matahari, gunung, sungai, lautan, hingga dunia hewan. Akhirnya mereka sampai pada era sejarah, dimana manusia mulai menciptakan huruf-huruf dan menuliskan pikiran serta pengetahuan yang didapat dari alam semesta.

Masyarakat Minangkabau mengungkapkannya dalam pepatah "Alam takambang jadi guru" yang berarti semesta yang luas tak terhingga ini adalah guru yang memberi kita pengetahuan apa saja. Namun kepada siapa pengetahuan yang luas itu diajarkan? tentunya kepada siapa saja yang mau belajar.

Meski perpustakaan dilengkapi dengan buku-buku lintas genre pengetahuan, dan diberi fasilitas membaca yang nyaman, tanpa kehadiran orang-orang yang mau belajar, tentu saja ia akan tampak sepi dan tak menarik. Problem literasi tampaknya berhulu pada rendahnya minat baca masyarakat kita. 

Kemiskinan Imajinasi 

Tampaknya, cita-cita semasa kecil kita tidak hadir dari imajinasi secara organik. Kemunculannya seperti dicangkok dari harapan atau keinginan orang tua yang menjadi sebuah instruksi dibawah alam sadar kita. Akhirnya, ia tak benar-benar mewujud imajinasi dalam alam bawah sadar kita. Akibatnya adalah disorientasi sejak muda. Bingung menentukan jurusan paska SMP, lalu pasrah pada penempatan di SMA apakah IPA atau IPS, lalu kembali bingung dalam menentukan jurusan di Universitas. 

Ditengah kebingungan tersebut, ekosistem manusia dewasa di negeri ini membentuk siklus hidup yang monoton, yakni bekerja, menikah dan mengurus anak. Di Eropa umumnya, pekerjaan yang dilakoni lahir dari imajinasi manusia. Sedang di Indonesia, pekerjaan seringkali didapat karena keterpaksaan (dari pada menganggur). Banyak yang terjebak menjadi sales meski umumnnya mereka tak menyenangi pekerjaan tersebut.

Tekanan tuntutan hidup juga banyak menyita waktu kita. Tak sedikit para sarjana kita yang menjadi ojol setelah selesai bekerja. Banyak dari mereka yang tak bernasib baik, bekerja menjadi buruh pabrik misalnya dengan penghasilan pas-pasan dan menjadi ojol untuk mendapatkan tambahan. Sementara itu, pemerintah kita tidak merangsang mereka untuk menjadi penemu. Banyak penemu, semisal penemu pupuk organik cair, yang akhirnya stagnan dan berhenti karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah. Ini masih salah satu contoh, tentunya banyak contoh serupa yang bisa kita temukan di Indonesia.

Perpustakaan adalah Tempat Bermain Anak

Jika dimasa kecil kita sering bertanya kepada Ayah, mengapa bulan mengikuti kita? tentu ini adalah proses berfikir. Dalam falsafah Alam Takambang Jadi Guru seperti yang saya singgung di awal, maka alam sebagai tempat belajar, harus pula mewujud dalam perpustakaan modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun