Mohon tunggu...
Randy Tandjung
Randy Tandjung Mohon Tunggu... Culture Enthusiast

Penikmat sejarah aktif di Komunitas Svaraya, peneliti di Aliansi Budaya Rakyat (ABRA)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perpustakaan: Dari Tempat Bermain Anak Hingga Tempat Lahirnya Gagasan

18 September 2025   16:05 Diperbarui: 18 September 2025   16:19 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang perpustakaan, didekorasi dengan gaya lama. FOTO/Istock 

Perpustakaan terlebih dahulu harus menjadi tempat bermain yang nyaman bagi anak-anak. Tak masalah meskipun mereka belum bisa membaca, setidaknya mereka sudah terbiasa melihat tumpukan buku. Tentu saja saya percaya bahwa kondisi sekitar akan memengaruhi manusia, pun dengan anak-anak tersebut.

Seperti mesjid yang kian sepi misalnya, itu terjadi karena anak-anak sering diusir karena "bising" didalam mesjid. Padahal Nabi Muhammad tidak pernah mempersoalkan itu. Baginya, anak-anak perlu diperkenalkan dengan mesjid meskipun hanya dipahami sebagai tempat bermain.

Kembali ke perpustakaan. Untuk membentuk imajinasi, anak-anak butuh mendengar cerita-cerita inspiratif berupa nilai-nilai kebijaksanaan yang umumnya ada didalam dongeng. Pengelola perpustakaan harus merumuskan formulanya, menciptakan tempatnya, dan bersedia menjadi pembaca dongeng sekaligus moderator yang baik dalam mendiskusikan segala macam pertanyaan anak-anak.

Dengan begitu, imajinasi pasti akan tumbuh seiring waktu. Bagi anak-anak yang berimajinasi sebagai pembuat robot akan menjadikan perpustakaan sebagai tempat menimba pengetahuan dan berinteraksi sesama mereka. Bagi yang bernasib buruk sekalipun, apakah itu putus sekolah atau tak mampu meneruskan kuliah, tetap akan mempunyai mental untuk mewujudkan imajinasinya. Apalagi, era sekarang ini lebih menekankan kepada kemampuan ketimbang gelar-gelar akademis.

Menjadi Tempat Diskusi

Pengelola perpustakaan harus merubah mindset bahwa ia tak melulu sebagai tempat yang tak menolerir kebisingan. Manusia cenderung nyaman jika ada interaksi sesamanya. Bayangkan, seseorang akan selalu datang ke perpustakaan jika ada komunitas tertentu yang membahas isu tertentu sesuai kebutuhannya.

Mungkin akan jadi tempat yang berisik, namun berisi. Karena suara-suara yang muncul adalah sekumpulan ide dan gagasan yang di diskusikan. Bagi saya, perpustakaan harus penuh dengan suara-suara seperti itu. Hingga ide dan gagasan tak melulu harus lahir dari Universitas.

Dengan begitu, perpustakaan bukan lagi menjadi tempat penyimpanan buku yang berdebu, melainkan tempat buku dibuka untuk diperdebatkan.

Jika manusia prasejarah bisa menemukan ide dan gagasan di ruang terbuka, maka manusia modern pun harus bisa menemukan itu dimana saja. Tak melulu harus lahir dari mereka-mereka yang memiliki gelar akademis. Perpustakaan harus menciptakan gairah orang biasa (non akademis) untuk memiliki imajinasi tertentu. Tentu saja perpustakaan harus menjadi perangsang awal dalam mengelola proses berpikir manusia hingga mewujud gagasan dan karya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun