Mohon tunggu...
Wiselovehope
Wiselovehope Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kopi, Kamu, Kita (2 Dari 3)

1 Februari 2023   13:40 Diperbarui: 2 Februari 2023   05:42 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi via Pixabay

(Bagian 2 dari 3)

Huh, kesal betul rasanya. Siapa dia, berani-beraninya men-judge seleraku? Dan benarkah jika memang kopi sasetan itu isinya bukan kopi benaran, malah ada kandungan jagungnya? Kayaknya gak mungkin, bukan? Meskipun malas meladeni tantangannya, pagi ini kuputuskan untuk bertandang ke kafe yang disebutkan Rey. Jika memang dia barista baru, kok berani-beraninya traktir kopi on the house? Namun kemudian harus kuakui memang aroma yang menyapaku sangat berbeda dengan yang biasa kuseduh sendiri. Wangi khas kopi segar yang hanya ada di kafe-kafe kelas menengah ke atas seperti Sunbucks itu jelas bukan dari parfum gantung, kalengan atau semprotan, melainkan dari alat pem-brew kopi yang berderet rapi di counter. Alat-alat otomatis dan manual yang harganya kurasa lumayan unjangkauable untuk mahasiswi miskin sepertiku.

"Jadi, bagaimana, Nona Joy, masih jadi Peminum Kopi atau udah jadi Pecinta Kopi?" Rey membuyarkan lamunanku.

"Uh, entahlah. Ini benaran enak, segar, tapi kurasa masih bisa beli bubuk jadi lalu membuatnya dengan blender sendiri di rumah!" tentu saja aku masih belum ingin memberi peluang menang debat pada sosok cowok jutek yang sukses membuatku fed up ini.

"Bagaimana jika nanti sore atau besok pagi Nona Joy singgah lagi untuk menikmati secangkir kopi hangat?"

"Gratis lagi?" kuleletkan lidah, "Kalo bayar, ogah ah! Dua puluh ribuan Rupiah bisa beli belasan bungkus kopi saset! Bisa untuk minum di rumah dua mingguan!"

"Iya, on the house lagi khusus untukmu! Gak pakai dua puluh ribuan, apalagi pajak!" Rey nyengir kuda. Duh, senyumnya nakal menggoda. Semoga wajahku gak memerah karenanya!

"Aduh, sungguh merepotkan. Jangan. Nanti Tuan Rey bisa dipecat!" aku makin mencium adanya hal aneh yang disembunyikan barista fotogenik yang jutek ini.

Rey menggelengkan kepala, sepertinya ia sedang susah-payah menahan tawa. Semakin mencurigakan saja, sepertinya aku harus segera melompat dari kursi bar ini!

"Aduh, resmi-resmian amat. Jangan panggil aku Tuan Rey, cukup panggil Rey saja!" pemuda itu membalas setelah berhasil bersikap cool kembali dan berdeham.

"Dan Rey juga panggil aku Joy saja."

"Okay, it's a deal!"

Sayangnya aku tak bisa berlama-lama nongkie di kafe Coupee karena sudah hampir jam kuliah. Beberapa tamu juga sudah datang dan duduk di dekatku, sehingga tak ada lagi momen berdua saja dengan Rey. Sedikit lega, sedikit kesal, keluarlah aku dari kafe itu tanpa berpamitan lagi dengan si barista.

Saat kuliah desainku hingga selesai dan sore tiba menjelang malam, aku masih belum konsen gara-gara penawaran istimewa Rey untuk ngopi gratis lagi di Coupee. Antara ingin tapi gengsi, mengingat aku belum menyerah melawan teori kopinya! Kubuka saja situs resmi Coupee dot com di ponsel untuk sekadar melihat-lihat. Kafe itu belum sepopuler Sunbucks tapi sudah memiliki beberapa cabang. Saat melihat laman pendirinya berikut biodata mereka, aku tertegun. Kok, tampang bos besarnya sepertinya pernah kulihat entah di mana. Walaupun sudah berumur, tetap gagah perkasa, pasti cakep waktu masih muda. Eh, kok jadi kepincut om-om. Seleraku bukan cowok yang lebih tua.

Segera kulupakan kejadian kecil itu. Sorenya karena penasaran aku mampir lagi di Coupee. Barista Rey tentu saja masih setia bertugas di sana. Ia menyambutku dengan secangkir kopi hangat. Kali ini gak pake susu atau topping apa-apa, aku hanya request sedikit gula agar rasanya gak  pahit-pahit amat. Dan nyatalah jika memang kopi itu beda benar dengan kopi hitam yang biasa kuminum, baik aroma maupun rasanya. Kesal sebal sempat merajaiku, akan tetapi aku merasa gak berdaya.

"Bagaimana? Kopi anget juga enak, bukan? Gak kuseduhkan banyak-banyak, nanti kamu gak bisa tidur! Kafein kopi murni itu tinggi. Di atas 10 gram per sajian saja sebenarnya udah ketinggian bagi pemula, lho."

"Uh, aku gak peka-peka amat dengan kadar kafein, kok! Sedikit atau banyak, tetap malam bakalan ngantuk juga!"

Memang benar kata Rey. Malam itu aku agak susah tidur, jangan-jangan insomnia. Membaca beberapa buku kesukaan, lama baru bisa ngantuk dan terlelap. Esoknya aku iseng-iseng mampir lagi di Coupee. Rey menyambut hangat. Kopi sajiannya gak pernah mengecewakan, apalagi ia selalu menggratiskanku. Rasanya aku mulai kecanduan. Entah pada kopi racikan Rey atau senyum Sang Barista yang menyebalkan. Ada misteri besar pada dirinya yang membuatku mulai tertarik. Tidak, gak seperti dugaan ala novel, bukan jatuh cinta! Aku gak segitu mudahnya naksir cowok, kok. Setidaknya agar gak kecewa-kecewa amat kelak. Beberapa pedekateku saat sekolah dari SD-SMA berujung kegagalan, jadi ya sudahlah, masalah jodoh aku pasrah.Hingga saat ini temanku memang kebanyakan pria-pria seumuran, tapi malangnya, gak satu pun berlanjut jadi cinta!

"Siapa 'sih sebenarnya dirimu, Rey? Rasanya aku pernah melihatmu entah di mana!" selidikku bak detektif wanita.

"Uh, siapa ya? Mata sipit pasaran begini. Mungkin mirip seseorang di masa lalumu, jangan bilang mirip artis Korea yang digilai cewek-cewek itu, ya!"

"Huh, kegeeran, kurasa tidak! Wajahmu mirip seorang pengusaha sukses yang sering kulihat di berita atau tivi!" langsung saja kutembak dia, ingin tahu reaksinya.

"A-a-apaaa?" terperangah, tawa Rey nyaris meledak, "Bisa-bisanya! Aku hanya seorang pegawai magang, Nona! Nothing less, nothing more. Apa perlu kutunjukkan kost-anku, di mana aku tinggal?"

"Aku gak percaya. Masa' bisa memberiku kopi gratis setiap hari, apa gak bakal rugi?"

"Oh, masalah itu 'toh... Memang setiap pegawai Coupee punya jatah kopi gratisan, free coffees sebagai imbalan kami melayani. Itu saja, kok. Kebetulan aku dapat porsi dua kali sehari. Karena Joy sudah kuanggap sebagai teman baikku, kuberikan saja untukmu. Aku bisa buat kopi sendiri di kost kapan saja aku mau. Biasanya pagi-pagi, jadi sepanjang hari aku tidak ngopi lagi."

"Teman baik?" pipiku merona, "Uh, terima kasih, kurasa. Aku juga merasa begitu, Rey selama ini cukup baik padaku. Gak semua cowok memperlakukanku sedemikian. Teman baikku sedikit, bisa dihitung dengan jari," akuku malu-malu singa.

"Terima kasih kembali. Jadi, kita berteman?"

"Tentu saja. Terima kasih sudah mau berteman denganku! Jangan lupa, kutagih janjimu tadi, sidak kost-mu!" masih menyimpan penasaran, kucetuskan saja keinginanku.

"Heh, sepertinya penasaran benar di mana aku tinggal? Well, baiklah, siapa takut?"

Saat senggang, Rey benar-benar membawaku mengunjungi tempat kost-nya yang tak jauh dari Coupee. Sebuah rumah petak sederhana yang menurut pengakuan ia sewa cukup murah, juga ada rekan kerja di kafe bernama Tonny, tetangga kamar.

"Lihat, di sinilah aku tinggal. Sama seperti anak kost lainnya, aku juga tiap hari makan mie instan dan tentu saja hobi ngopi. Tiap pagi aku selalu buat sendiri dengan Vietnam Drip atau lainnya! Iya 'kan, Ton?"

"I-i-iya, tentu saja! Kami rekan kerja dan tetangga kamar yang baik! Rey memang down to earth banget!" Tonny terkekeh mengiyakan.

Baiklah, jadi memang kemiripan Rey dengan pengusaha itu hanya kebetulan saja. Kedua pemuda itu tampaknya jujur dan juga pria baik-baik, sangat membumi. Tak lama aku berangkat pulang, Rey mengantarkanku dengan sepeda motor tuanya.

Semakin hari Barista Rey semakin akrab saja denganku. Kami bertukar nomor ponsel dan sering chat di sela-sela kuliahku dan waktunya bertugas. Kurasa kami seperti sedang pedekate, aku gak mau gede rasa. Tetapi berada bersamanya memang nyaman. Ia sama sekali tak menunjukkan gelagat genit atau mata keranjang, karena itulah aku suka. Mungkin malah lebih dari sekadar suka. Jika senggang, kami jalan-jalan sejenak di mini market tempat pertama kami berjumpa atau di pertokoan sekitar Coupee. Pandang iri orang-orang tak kuhiraukan. Mungkin mereka rasa kami gak selevel. Ah, masa bodo. Rasa bangga berjalan di sisi cowok setampan Rey membuat hidungku serasa hampir terbang. Entahlah bagaimana perasaannya terhadapku, gak ingin tahu, nanti kecewa! Dianggap teman udah senang.

"Aku sering jalan-jalan denganmu, nanti ada yang cemburu, lagi!"

Rey tergelak. "Siapa? Aku single kok. Jadi gakkan ada yang berhak cemburu."

"Betulan?" aku melirik dengan penuh kecurigaan.

"Iya. Di kota ini, Joy saja teman baruku. Belum banyak yang kukenal."

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun