Mohon tunggu...
Ramli Ondang Djau
Ramli Ondang Djau Mohon Tunggu... Man In Black

Ayah dari 3 putri, penikmat kopi dan menulis tinggal di Gorontao

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

DIANTARA DUA HATI. Episode 4: Pilihan Yang Tak Pernah Sederhana

25 Juli 2025   07:13 Diperbarui: 25 Juli 2025   07:35 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Episode 3, Created by. R.O.D.

Hujan masih mengguyur ketika Raka akhirnya mengajak kedua gadis itu masuk ke ruang tamu. Ruangan itu hening. Hanya suara air yang menetes dari jas hujan Nayla dan payung merah Tania. Mereka duduk berjauhan. Raka di tengah, Tania di sebelah kanan, Nayla di sebelah kiri. Tiga hati dalam satu ruang, tiga kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.

Raka menghela napas dalam. "Aku nggak tahu harus ngomong apa, jujur aja."

Nayla menunduk, menggenggam tangannya erat. Sementara Tania menatap lurus ke arah Raka, mencoba membaca sorot matanya yang kini lebih murung daripada biasanya.

"Aku datang karena aku nggak mau kehilangan kamu, Raka," ujar Tania akhirnya. "Aku tahu kamu bingung, tapi aku butuh kepastian. Aku butuh tahu... kamu milih aku atau Nayla?"

Ucapan itu seperti palu. Berat. Tegas. Menyesakkan.

Nayla menggigit bibirnya. Matanya mulai memerah. Tapi dia tidak bisa hanya diam.

"Aku nggak pernah minta apa-apa, Ka," katanya pelan. "Aku bahkan nggak pernah nyuruh kamu buat milih. Tapi kalau kamu merasa aku cuma jadi pelengkap, aku siap mundur."

"Jangan ngomong gitu, Nay..." suara Raka terdengar goyah.

"Lalu aku harus ngomong apa?" Nayla menatapnya dengan tatapan yang lembut tapi penuh luka. "Aku tahu aku nggak secantik Tania, aku nggak ceria, nggak pandai bicara. Tapi perasaanku ke kamu... nyata, Ka. Nggak dibuat-buat."

Tania berdiri. "Jadi maksudmu perasaanku dibuat-buat?"

"Bukan begitu!" Nayla ikut berdiri, matanya kini basah. "Aku cuma... aku cuma nggak mau bersaing soal hati. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak sakit lihat kalian makin dekat tiap hari."

Raka berdiri pula. Tangannya mengepal. "Stop! Tolong..."

Keduanya terdiam.

Raka berjalan ke arah jendela, menatap hujan. Punggungnya gemetar. Ia tak pernah sebingung ini. Hatinya terbagi dua. Ia menyukai kehangatan Tania---yang manja, yang ceria, yang tahu caranya membuat dunia jadi ringan. Tapi ia juga mencintai ketenangan Nayla---yang dalam diamnya, selalu menguatkan, tanpa banyak kata.

"Kenapa harus ada yang disakiti kalau semuanya bisa saling jaga?" gumamnya lirih.

Hari berikutnya, suasana sekolah berubah. Tania dan Nayla duduk terpisah. Raka lebih banyak diam. Tak ada candaan seperti biasa, tak ada lemparan senyum di lorong sekolah. Yang ada hanya tatapan sayu dan kecanggungan.

Sore itu, Nayla menulis di buku hariannya:

"Aku tahu cinta itu bukan soal siapa yang datang lebih dulu, atau siapa yang lebih sering membuatmu tertawa. Tapi siapa yang tetap tinggal saat semuanya mulai sulit..."

Sementara Tania menulis di notenya:

"Aku selalu percaya kalau cinta itu diperjuangkan. Tapi sekarang, aku takut perjuanganku malah jadi alasan seseorang menjauh..."

Di rumah, Raka bicara pada ayahnya.

"Ayah pernah bingung milih antara dua orang yang sama-sama baik?"

Ayahnya tersenyum kecil. "Pernah."

"Dan gimana akhirnya Ayah milih?"

"Sederhana. Ayah tanya ke diri sendiri: siapa yang membuat Ayah ingin jadi versi terbaik dari diri Ayah sendiri?"

Raka terdiam. Pertanyaan itu menempel kuat di benaknya.

Beberapa hari berlalu.

Hingga suatu sore, Raka mengajak Nayla bertemu di taman belakang sekolah. Tempat mereka biasa membaca buku bersama. Suasana senyap. Angin sore berembus pelan.

"Nay..."

Nayla menoleh, senyumnya ragu.

"Aku tahu... kamu pasti udah nebak kenapa aku ajak kamu ke sini."

Nayla menunduk. "Kalau kamu mau bilang kamu milih Tania, aku ngerti..."

Raka menggeleng. "Bukan itu."

Dia mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. Buku yang dulu Nayla pernah kasih sebagai kado ulang tahun. Isinya masih sama: kutipan-kutipan puisi tentang rindu, diam, dan harapan.

"Setiap aku baca ini, aku ngerasa damai. Sama kayak saat aku bareng kamu."

Nayla menahan napas. Air matanya mulai menggenang.

"Tapi..." lanjut Raka.

Kata itu menghantam Nayla lebih keras daripada tamparan. "Tapi?"

"Aku nggak mau kasih harapan ke siapa pun kalau aku masih belum bisa jujur ke diriku sendiri."

Nayla menarik napas panjang, lalu mengangguk.

"Aku ngerti..."

Raka menggenggam tangannya sebentar, lalu melepasnya perlahan. "Aku cuma butuh waktu. Dan aku harap, kamu bisa nunggu---bukan untuk dipilih, tapi untuk tahu hatiku benar-benar siap."

Hari itu, senja terasa lebih kelabu dari biasanya. Tapi ada seberkas kelegaan dalam hati mereka. Meskipun tak ada jawaban pasti, setidaknya, semuanya kini diakui, bukan disembunyikan.

To Be Continued...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun