Raka menggeleng. "Bukan itu."
Dia mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya. Buku yang dulu Nayla pernah kasih sebagai kado ulang tahun. Isinya masih sama: kutipan-kutipan puisi tentang rindu, diam, dan harapan.
"Setiap aku baca ini, aku ngerasa damai. Sama kayak saat aku bareng kamu."
Nayla menahan napas. Air matanya mulai menggenang.
"Tapi..." lanjut Raka.
Kata itu menghantam Nayla lebih keras daripada tamparan. "Tapi?"
"Aku nggak mau kasih harapan ke siapa pun kalau aku masih belum bisa jujur ke diriku sendiri."
Nayla menarik napas panjang, lalu mengangguk.
"Aku ngerti..."
Raka menggenggam tangannya sebentar, lalu melepasnya perlahan. "Aku cuma butuh waktu. Dan aku harap, kamu bisa nunggu---bukan untuk dipilih, tapi untuk tahu hatiku benar-benar siap."
Hari itu, senja terasa lebih kelabu dari biasanya. Tapi ada seberkas kelegaan dalam hati mereka. Meskipun tak ada jawaban pasti, setidaknya, semuanya kini diakui, bukan disembunyikan.