"Bukan begitu!" Nayla ikut berdiri, matanya kini basah. "Aku cuma... aku cuma nggak mau bersaing soal hati. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak sakit lihat kalian makin dekat tiap hari."
Raka berdiri pula. Tangannya mengepal. "Stop! Tolong..."
Keduanya terdiam.
Raka berjalan ke arah jendela, menatap hujan. Punggungnya gemetar. Ia tak pernah sebingung ini. Hatinya terbagi dua. Ia menyukai kehangatan Tania---yang manja, yang ceria, yang tahu caranya membuat dunia jadi ringan. Tapi ia juga mencintai ketenangan Nayla---yang dalam diamnya, selalu menguatkan, tanpa banyak kata.
"Kenapa harus ada yang disakiti kalau semuanya bisa saling jaga?" gumamnya lirih.
Hari berikutnya, suasana sekolah berubah. Tania dan Nayla duduk terpisah. Raka lebih banyak diam. Tak ada candaan seperti biasa, tak ada lemparan senyum di lorong sekolah. Yang ada hanya tatapan sayu dan kecanggungan.
Sore itu, Nayla menulis di buku hariannya:
"Aku tahu cinta itu bukan soal siapa yang datang lebih dulu, atau siapa yang lebih sering membuatmu tertawa. Tapi siapa yang tetap tinggal saat semuanya mulai sulit..."
Sementara Tania menulis di notenya:
"Aku selalu percaya kalau cinta itu diperjuangkan. Tapi sekarang, aku takut perjuanganku malah jadi alasan seseorang menjauh..."
Di rumah, Raka bicara pada ayahnya.