Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

🎓Education: Law 🏤Classified as Middle–Upper Class in Indonesia, with assets ranging from US$169,420–1 million (approx. Rp 2.64–16 billion), based on CNBC criteria. 🏧Among the top 0.001% of Indonesians with an annual income of Rp 300–500 million (SPT 1770 S 2024) 👔Career: Employee at Giant Holding Company (since Feb 2004–Present), side job as Independent Property-Asset Management Consultant 📲Volunteer Work: Previously engaged with BaraJP, Kawal Pemilu, as well as the Prabowo–Sandi and Anies–Muhaimin campaign teams. ⚖️Note: I only connect with writers who focus on ideas and ideals, not those who are obsessed with K-Rewards.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Logika | Filsafat Hukum Episode 8: Positivisme Hukum

4 Oktober 2025   10:23 Diperbarui: 4 Oktober 2025   11:58 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

II.6. Positivisme Awal vs Perkembangan Modern 

Perbandingan antara positivisme klasik (Bentham, Austin) dan positivisme modern (Kelsen, Hart, Raz) menunjukkan transformasi penting dalam filsafat hukum.

  • Sumber Hukum dan Kedaulatan; Austin mendefinisikan hukum sebagai perintah penguasa berdaulat. Namun, dalam masyarakat modern dengan konstitusi, kedaulatan tidak lagi tunggal. Kelsen mengganti konsep “sovereign” dengan struktur hierarkis norma yang berpuncak pada Grundnorm. Hart kemudian memperkenalkan rule of recognition untuk menjelaskan bagaimana masyarakat menentukan aturan hukum tanpa perlu figur penguasa absolut.
  • Konsep Perintah dan Norma: Austin menekankan hukum sebagai perintah. Namun, banyak hukum modern tidak berbentuk perintah dengan sanksi (misalnya aturan kontrak, aturan yang memberi kewenangan administratif). Kelsen menekankan hukum sebagai sistem norma, bukan sekadar perintah. Hart mengkritik teori perintah karena tidak menjelaskan hukum yang memberi hak atau kewenangan, serta tidak menjelaskan hukum yang berlaku bagi penguasa itu sendiri.
  • Hubungan dengan Moralitas: baik Austin maupun Bentham menolak hukum alam. Namun, Hart memperhalus sikap ini dengan mengakui adanya “minimum content of natural law”: hukum tetap membutuhkan aturan dasar untuk kelangsungan hidup masyarakat (seperti larangan kekerasan). Raz mengembangkan lebih lanjut, menekankan “otoritas hukum” sebagai alasan praktis untuk bertindak, yang tetap otonom dari moral, tetapi dapat berinteraksi dengannya.
  • Tujuan Hukum: Bentham mengaitkan hukum dengan utilitarianisme: hukum baik jika meningkatkan kebahagiaan sosial. Austin lebih formalistik. Kelsen menekankan netralitas ilmiah, sementara Hart membuka ruang untuk dimensi sosial dan moral dalam analisis hukum. Dengan demikian, positivisme modern lebih fleksibel dalam menghadapi kompleksitas hukum kontemporer.
  • Kritik dan Relevansi: Positivisme klasik dipuji karena kejelasan, tetapi dikritik karena simplistik. Positivisme modern memperbaiki kelemahan itu dengan konsep normatif yang lebih canggih. Meski dikritik oleh natural law, critical legal studies, feminisme, dan teori kritis lainnya, positivisme tetap dominan dalam pendidikan hukum karena kegunaannya yang praktis.

Dengan demikian, positivisme klasik adalah fondasi, sedangkan positivisme modern adalah elaborasi yang lebih kompleks. Evolusi ini menunjukkan kemampuan positivisme untuk menyesuaikan diri dengan perubahan politik, sosial, dan intelektual, tetap menjadi salah satu aliran utama filsafat hukum.

Glosarium
Command Theory: teori Austin yang menyatakan hukum sebagai perintah penguasa berdaulat disertai ancaman sanksi.
Sovereign: otoritas tertinggi yang ditaati masyarakat tanpa tunduk pada otoritas lain.
Utilitarianisme: prinsip moral Bentham bahwa tindakan terbaik adalah yang memaksimalkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak.
Grundnorm: norma dasar dalam teori Kelsen yang memberi validitas sistem hukum.
Rule of Recognition: konsep Hart untuk menjelaskan kriteria validitas hukum dalam suatu masyarakat.

Daftar Pustaka
Austin, John. The Province of Jurisprudence Determined. Cambridge: Cambridge University Press, 1832.
Bentham, Jeremy. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press, 1789.
Hart, H.L.A. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press, 1961.
Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. Berkeley: University of California Press, 1967.
Raz, Joseph. The Authority of Law. Oxford: Oxford University Press, 1979.

Rekomendasi Bacaan Pengayaan
1. Cotterrell, Roger. The Politics of Jurisprudence. Oxford: Oxford University Press, 1989.
2. Shapiro, Scott. Legality. Cambridge: Harvard University Press, 2011.
3. Lacey, Nicola. A Life of H.L.A. Hart. Oxford: Oxford University Press, 2004.
4. Finnis, John. Natural Law and Natural Rights. Oxford: Clarendon Press, 1980.
5. Tamanaha, Brian. A General Jurisprudence of Law and Society. Oxford: Oxford University Press, 2001.

*

Bab III: Hans Kelsen dan Pure Theory of Law

III.1. Konteks Intelektual Kelsen: Austria, Abad 20, Latar Belakang Neokantianisme

Hans Kelsen (1881-1973) lahir di Praha dan berkembang dalam tradisi intelektual Austria awal abad ke-20, sebuah periode penuh dinamika politik, sosial, dan filosofis. Kekaisaran Austro-Hungaria, tempat ia dibesarkan, menghadapi keruntuhan, konflik etnis, dan transformasi menuju negara-bangsa modern. Konteks ini memengaruhi cara Kelsen memahami hukum sebagai instrumen vital untuk menjaga keteraturan dan stabilitas sosial.

Secara intelektual, Kelsen dipengaruhi oleh neokantianisme, khususnya mazhab Baden yang menekankan perbedaan antara ilmu alam (berbasis kausalitas) dan ilmu normatif (berbasis validitas). Dari filsafat Kant, ia menyerap ide tentang otonomi hukum sebagai sistem normatif yang tidak dapat direduksi ke fakta sosial atau moralitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun