Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

🎓Education: Law 🏤Classified as Middle–Upper Class in Indonesia, with assets ranging from US$169,420–1 million (approx. Rp 2.64–16 billion), based on CNBC criteria. 🏧Among the top 0.001% of Indonesians with an annual income of Rp 300–500 million (SPT 1770 S 2024) 👔Career: Employee at Giant Holding Company (since Feb 2004–Present), side job as Independent Property-Asset Management Consultant 📲Volunteer Work: Previously engaged with BaraJP, Kawal Pemilu, as well as the Prabowo–Sandi and Anies–Muhaimin campaign teams. ⚖️Note: I only connect with writers who focus on ideas and ideals, not those who are obsessed with K-Rewards.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Logika | Filsafat Hukum Episode 8: Positivisme Hukum

4 Oktober 2025   10:23 Diperbarui: 4 Oktober 2025   11:58 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rekomendasi Bacaan Pengayaan
1. Raz, Joseph. The Authority of Law. Oxford: Oxford University Press, 1979.
2. Coleman, Jules. The Practice of Principle. Oxford: Oxford University Press, 2001.
3. Shapiro, Scott. Legality. Cambridge: Harvard University Press, 2011.
4. Finnis, John. Natural Law and Natural Rights. Oxford: Clarendon Press, 1980.
5. Waldron, Jeremy. Law and Disagreement. Oxford: Oxford University Press, 1999.

*

Bab II: Positivisme Klasik

II.1. Konteks Sejarah dan Pemikiran: John Austin 

John Austin adalah tokoh sentral dalam lahirnya positivisme hukum klasik di Inggris abad ke-19. Ia hidup pada masa transisi pasca-Revolusi Industri, ketika Inggris menghadapi perubahan sosial cepat, urbanisasi, dan kebutuhan akan sistem hukum yang lebih teratur. Sebagai murid Jeremy Bentham, Austin terinspirasi oleh utilitarianisme tetapi berusaha membangun teori hukum yang lebih sistematis dan terpisah dari moralitas.

Karyanya yang paling berpengaruh, The Province of Jurisprudence Determined (1832), mendefinisikan hukum bukan sebagai refleksi moral, melainkan sebagai fenomena sosial yang dapat dipelajari secara ilmiah. Austin menekankan pemahaman hukum sebagai “perintah dari penguasa yang berdaulat”, didukung oleh sanksi. Dengan pendekatan ini, ia meletakkan dasar bagi positivisme hukum: analisis hukum berdasarkan sumber dan struktur formalnya, bukan pada nilai etis yang melandasinya.

II.2. Command Theory of Law: Hukum sebagai Perintah dari yang Berdaulat 

Teori utama Austin, command theory of law, mendefinisikan hukum sebagai perintah dari penguasa yang berdaulat kepada rakyatnya, yang keberlakuannya dijamin dengan ancaman sanksi. Tiga unsur utama menandai teori ini. Pertama, hukum selalu berasal dari otoritas tertinggi (sovereign), yaitu pihak yang ditaati secara konsisten oleh masyarakat, tetapi tidak tunduk pada otoritas yang lebih tinggi. Kedua, hukum berbentuk perintah (command), yaitu instruksi yang mewajibkan atau melarang tindakan tertentu. Ketiga, keberlakuan hukum dijamin dengan sanksi, sehingga kepatuhan masyarakat muncul karena ancaman hukuman, bukan kesadaran moral.

Dengan kerangka ini, Austin memisahkan hukum dari agama, moralitas, dan adat. Ia menolak gagasan bahwa hukum harus selaras dengan keadilan universal. Baginya, hukum berlaku karena berasal dari penguasa sah dan ditegakkan dengan kekuasaan koersif. Definisi ini memberikan kejelasan analitis dan menegaskan hukum sebagai produk politik dan otoritas negara.

II.3. Kritik Austin terhadap Hukum Alam

Austin menentang keras tradisi hukum alam yang, menurutnya, mencampurkan deskripsi hukum positif dengan klaim normatif moral. Ia berargumen bahwa teori hukum alam gagal membedakan antara “apa hukum itu” (is) dan “apa hukum seharusnya” (ought). Bagi Austin, kebingungan ini menghalangi hukum untuk dipelajari secara ilmiahMenurut Austin, hukum alam berbahaya karena memberi legitimasi pada pembangkangan hukum positif atas nama moralitas abstrak. Ia menilai hukum harus dipahami sebagai kenyataan sosial konkret, bukan ideal moral transenden. Baginya, yang penting adalah mendeskripsikan aturan yang benar-benar berlaku dalam suatu masyarakat, terlepas dari adil atau tidaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun