Tesis ini berimplikasi praktis. Dalam dunia nyata, hakim, pengacara, dan birokrat sering dihadapkan pada aturan yang jelas tetapi tidak selalu adil. Dengan separation thesis, mereka dapat menjalankan hukum tanpa harus terlebih dahulu menyelesaikan perdebatan moral yang panjang. Namun, kritik menyebut bahwa hal ini berpotensi membiarkan hukum yang tidak adil tetap berfungsi, sebagaimana terjadi pada rezim totaliter abad ke-20.
Meski begitu, pemisahan hukum dan moralitas tetap menjadi pilar analisis hukum modern. Ia tidak serta merta menolak moralitas, tetapi berupaya menjaga otonomi ilmu hukum sebagai disiplin.
1.3. Positivisme vs Natural Law sebagai Perdebatan Klasik
Perdebatan antara positivisme dan hukum alam merupakan salah satu konflik filosofis tertua dalam sejarah hukum. Hukum alam, sejak Thomas Aquinas hingga Lon Fuller, menegaskan bahwa hukum harus sesuai dengan prinsip moral universal; hukum yang tidak adil pada dasarnya bukan hukum. Sebaliknya, positivisme menolak tautan niscaya tersebut.
Hart pernah berdebat dengan Fuller dalam Harvard Law Review (1958). Fuller menegaskan bahwa hukum totaliter, seperti di Nazi Jerman, gagal menjadi hukum karena mengabaikan prinsip moralitas internal hukum. Hart menanggapi bahwa hukum tersebut tetap "hukum", meskipun kejam, karena memenuhi kriteria validitas sistemiknya.
Kontras ini membentuk garis besar diskursus hukum modern: apakah hukum terutama bersifat normatif-moral atau formal-institusional.
1.4. Pengaruh Besar Positivisme di Abad 20
Positivisme hukum memberi pengaruh luar biasa pada perkembangan ilmu hukum abad ke-20:
- Pertama, ia memberikan dasar metodologis bagi kodifikasi hukum modern. Negara-negara pasca-Revolusi Industri, dengan birokrasi yang kompleks, memerlukan sistem hukum yang konsisten, dapat diprediksi, dan bebas dari debat moral tak berkesudahan.
- Kedua, positivisme memungkinkan hukum dipelajari secara ilmiah. Kelsen mendorong hukum dipahami sebagai sistem normatif yang otonom, sementara Hart menjadikannya bagian dari filsafat analitik bahasa. Hal ini mengangkat status studi hukum sejajar dengan ilmu sosial dan filsafat analitik lainnya.
- Ketiga, pengaruh praktisnya tampak dalam pendidikan hukum. Fakultas hukum di Eropa, Amerika, hingga Asia banyak mengajarkan hukum dalam kerangka positivis: bagaimana mengenali aturan yang sah, cara kerjanya, dan bagaimana ia ditegakkan, ketimbang mencari dasar moral transendennya.
- Keempat, positivisme menjadi alat kritik terhadap hukum alam yang dianggap kabur, metafisik, dan rawan manipulasi ideologis. Dalam konteks politik, ia melayani kebutuhan negara modern untuk menegakkan hukum positif sebagai fondasi stabilitas sosial.
Namun, warisan ini tidak tanpa masalah. Kritik dari Mazhab Frankfurt, Critical Legal Studies, hingga teori feminis menunjukkan bahwa positivisme berisiko mengabaikan dimensi keadilan substantif. Meski demikian, kontribusinya dalam menata metodologi hukum tetap fundamental, menjadikan positivisme salah satu pilar utama filsafat hukum kontemporer.
Glosarium
Positivisme hukum: aliran filsafat hukum yang memisahkan validitas hukum dari moralitas.
Separation thesis: prinsip inti positivisme yang menyatakan hukum dan moralitas adalah domain analisis terpisah.
Grundnorm: norma dasar dalam teori Kelsen yang memberi validitas pada sistem hukum.
Rule of recognition: konsep Hart untuk menjelaskan kriteria validitas hukum dalam suatu masyarakat.
Natural law: teori hukum yang menautkan hukum dengan moralitas universal.
Daftar Pustaka
Hart, H.L.A. The Concept of Law. Oxford: Clarendon Press, 1961.
Kelsen, Hans. Pure Theory of Law. Berkeley: University of California Press, 1967.
Austin, John. The Province of Jurisprudence Determined. Cambridge: Cambridge University Press, 1832.
Fuller, Lon. The Morality of Law. New Haven: Yale University Press, 1964.
Bentham, Jeremy. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford: Clarendon Press, 1789.