Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pendidikan Bidang Hukum. Pengikut Gerakan Akal Sehat. Ex Relawan BaraJP / KAWAL PEMILU Pembelajar Tanpa Henti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer Jilid 5: Strategi Zig-Zag ala Jenderal Kopassus

20 September 2025   02:29 Diperbarui: 20 September 2025   03:12 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#Perpres IKN diteken Presiden Prabowo #Peraturan Presiden IKN Ibokota Politik #Perpres IKN #IKN Ibukota Politik 2028

Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer Jilid 5: Strategi Zig-Zag ala Jenderal Kopassus

(Seri berlanjut dari Artikel Sebelumnya):

4september2025: Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer: Kajian Filsafat Politik dalam Konteks Indonesia Kontemporer): https://www.kompasiana.com/ramadhanhadysyahputratambunan/68b73b6434777c68534517e2/berfilsafat-dengan-benar-indonesia-hari-ini

6september2025: Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer jilid 2: Reshuffle Kabinet dan Naiknya Daya Tawar TNI: https://www.kompasiana.com/ramadhanhadysyahputratambunan/68bf07ffc925c4257f0c1114/dialektika-kekuasaan-sipil-dan-resufle-kabinet-militer-jilid-2

9September2025: Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer Jilid 3: Narasi Pro Kontra TNI-Polri di Media Sosial https://www.kompasiana.com/ramadhanhadysyahputratambunan/68c0380bc925c43c240b9392/dialektika-kekuasaan-sipil-dan-militer-jilid-3-perang-narasi-pro-kontra-tni-polri-di-media-sosial

10September2025: Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer Jilid 4: Tentara Nepal di Atas Angin, Kepala Polisi dan Buzzer-Senkom-Banpol Terjepit https://www.kompasiana.com/ramadhanhadysyahputratambunan/68ca352834777c01df0a7802/dialektika-kekuasaan-sipil-dan-militer-jilid-4-tentara-nepal-di-atas-angin-kepala-polisi-dan-buzzer-senkom-banpol-terjepit

Oleh: R. Hady Syahputra Tambunan
Latar belakang pendidikan di bidang hukum, bekerja sebagai karyawan swasta, aktif menulis di media online dengan fokus pada kritik isu politik, sosial, budaya, dan hukum. Terlibat dalam kegiatan kerelawanan politik serta memiliki minat besar pada kajian filsafat

Politik Indonesia pasca-Jokowi memasuki fase baru. Di puncaknya berdiri Prabowo Subianto-mantan Danjen Kopassus, eks Pangkostrad, sekaligus sosok yang pernah tiga kali kalah dalam kontestasi pilpres. Kekalahan demi kekalahan itu membentuk dirinya sebagai politisi yang tahan banting, sabar, dan penuh kalkulasi. Kini, di usia 75 tahun, ia justru berada di puncak kuasa.

Namun menariknya, strategi politik Prabowo tidak linier. Ia tidak sekadar menyingkirkan lawan atau merangkul sekutu. Yang terlihat justru pola zig-zag: langkah yang tampak membingungkan, kadang mendekat lalu menjauh, kadang memberi ruang lalu menutup kembali. Strategi ini layak dibaca sebagai seni kuasa khas seorang jenderal: advance and retreat, test and trap.

Prabowo dan keberlanjutan Jokowi 

Prabowo Subianto adalah sosok militer-politik yang penuh pengalaman politik yang keras. Ia pernah jadi musuh Jokowi, pernah jadi bawahan setia Jokowi, lalu kini menjadi presiden yang justru menggenggam warisan Jokowi sekaligus membatasi pengaruhnya.

Perjalanan ini bukan jalan lurus. Prabowo bergerak dengan pola zig-zag: maju mundur, mendekat menjauh, memberi lalu mengambil. Sebuah strategi khas seorang jenderal yang ditempa dari kekalahan dan pengalaman panjang.

Episode Awal: Jokowi sebagai Lawan (2012-2014)

Ironisnya, hubungan politik keduanya berawal dari Prabowo sendiri. Pada 2012, Prabowo-lah yang mencalonkan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, berpasangan dengan Ahok. Saat itu, Jokowi hanyalah wali kota Solo dengan reputasi lokal. Prabowo awalnya menjadikan Jokowi-Ahok sebagai pijakan menuju Pilpres-dengan menebar saham sebagai pengendali DKI Jakarta.

Namun keputusan itu jadi titik balik. Jokowi menang, melejit menjadi bintang politik nasional, bahkan secara ajaib malah maju ke Pilpres 2014. Dari sinilah rivalitas dimulai.

Prabowo dua kali melawan Jokowi di pilpres (2014 dan 2019), dua kali pula ia kalah. Kekalahan yang pahit: penuh drama, gugatan MK, bahkan konflik jalanan.

Episode Kedua: Jokowi sebagai Atasan (2019-2024)

Setelah dua kali kalah, Prabowo mengambil langkah mengejutkan: menerima tawaran Jokowi masuk kabinet. Ia menjadi Menteri Pertahanan, posisi strategis sekaligus simbol rekonsiliasi.

Di titik ini, Prabowo "tunduk" pada Jokowi. Ia tampil patuh, jarang terlihat tampil mencolok, bahkan sering memberi puji-pujian. Banyak pengamat menyebutnya "subordinat politik Jokowi".

Namun, bagi seorang jenderal Kopassus, kepatuhan ini bukan sekadar loyalitas. Ia adalah strategi. Prabowo belajar bahwa untuk sampai ke puncak, ia harus mengalah, menunggu, dan mengalir bersama arus.

Episode Ketiga: Jokowi sebagai Endorser (2024)

Puncak keberhasilan strategi itu terjadi pada Pilpres 2024. Dengan endorse penuh dari Jokowi, Prabowo bukan hanya menang, ia menang telak. Bahkan anak Jokowi, Gibran, menjadi wakil presidennya.

Kabinet awalnya pun sarat dengan jejak Jokowi: Mendagri, Panglima TNI, Kapolri, hingga menteri-menteri strategis adalah orang dekat atau rekomendasi Jokowi. Share of power Jokowi terlihat begitu besar, bahkan seolah lebih dominan daripada Prabowo sendiri.

Namun di balik itu, Prabowo tidak tinggal diam. Ia perlahan menata ulang, menggeser, mengatur ritme.

Jokowi, Prabowo dan bayang-bayang Matahari kembar

Dengan konfigurasi kekuasaan real di pemerintahan Prabowo, Jokowi sebenarnya mendapat share of power yang sangat besar. Namun sejak awal, Prabowo tidak diam saja. Ia menjalankan strategi zig-zag: bergerak maju mundur, mendekat lalu menjauh, membingungkan di permukaan tapi penuh kalkulasi di balik layar.

Manuver 2025: Merangkul-Memukul PDIP, Mengikis-Melegitimasi Simbol Jokowi

Awal pemerintahannya, Prabowo justru merangkul PDIP-partai yang di bawah Jokowi tampak berjarak-. Narasi publik menyebut Jokowi mengkhianati PDIP, Megawati lewat Hasto menyerang balik Jokowi. Namun di sisi lain, Prabowo memberi ruang bagi tokoh-tokoh dekat PDIP:

  • Ketua Otorita IKN dijabat Basuki Hadimuljono (orang dekat PDIP),
  • Budi Gunawan naik sebagai Menkopolhukam,
  • Sri Mulyani yang dekat PDIP tetap bertahan di Kemenkeu,
  • Beberapa posisi strategis lain masih diisi figur warisan PDIP.

Namun perlahan, posisi-posisi itu mulai digeser. Prabowo tampak melakukan dua hal sekaligus: menenangkan PDIP yang masih kuat (pemenang Pileg 2024, dimana Puan tetap Ketua DPR), tapi juga mempersiapkan penyusutan pengaruh mereka secara bertahap.

Gelombang Konflik: KPK, Demo, dan Gesekan aparat

Menjelang gelombang demo besar, terjadi serangkaian peristiwa politik penting:

  • Hasto, Sekjen PDIP, ditangkap KPK. Namun Prabowo justru memberi abolisi, seolah menghadiahkan PDIP ruang bernapas.
  • Letjen Kunto Arief Wibowo-anak Tri Sutrisno dicopot-, lalu dipulihkan kembali. Terkesan simbolis, mengingat Tri Sutrisno adalah tokoh penting yang ikut menandatangani usulan pemakzulan Gibran ke DPR.
  • Noel ditangkap KPK. Tak lama, demo besar-besaran pecah. Polri dan TNI tampak dibenturkan dan berbeda narasi

Pasca kerusuhan, Budi Gunawan-simbol PDIP dan Polri-justru dicopot. Sementara itu, tokoh-tokoh Jokowi juga mulai disingkirkan:

  • Budi Arie Setiadi dicopot,
  • Pos-pos penting digantikan Golkar dan Gerindra,
  • Menteri Keuangan berikutnya bukan kader Jokowi, tapi orang dekat Luhut.

Langkah ini menandai pola zig-zag: memberi hadiah (abolisi, pemulihan jabatan), tapi sekaligus memotong akar pengaruh PDIP dan Jokowi. Disisi lain memberi ruang lebih kepada purnawirawan TNI, Gerindra, Luhut dan Golkar.

Jokowi, Polri dan Tim Reformasi

Paska kerusuhan Prabowo membentuk Tim Reformasi Polri. Isu ini jelas menyudutkan Jenderal Listyo Sigit, anak emas Jokowi. Padahal selama sepuluh tahun Jokowi, Polri mendapat porsi peran yang sangat besar-dengan infiltrasi ke berbagai lembaga pemerintahan-aritinya, Listyo dan Kepolisian menjadi tulang punggung kekuatan politik Jokowi selama dua periode.

Dengan strategi ini, Prabowo mengurangi dominasi Jokowi lewat institusi kunci, tapi tanpa memutus total. Pola ini sejalan dengan langkah sebelumnya: membatasi sambil memberi "hadiah" sesekali.

Perpres IKN: Hadiah atau Jerat?

Secara agak menarik perhatian,-karena tidak lama dari peristiwa besar politik kemaren-Prabowo memberi kejutan dengan meneken Perpres IKN yang adalah proyek besar warisan Jokowi. IKM ditetapkan sebagai Ibukota Politik Resmi pada 2028.

Sekilas, ini hadiah politik bagi Jokowi. Namun di baliknya, Prabowo justru mengikat oligarki, dana APBN, dan narasi pembangunan di bawah kendalinya. Pada 2028, tepat setahun sebelum Pilpres, IKN akan menjadi panggung politik. Artinya, Jokowi tetap mendapat legacy, tapi Prabowo mengendalikan momentum dan sumber daya.

Retakan Simbolik: Gibran dan Listyo. Tidak dapat dibantah 

Retakan hubungan dengan Jokowi makin nyata dalam simbol-simbol politik:

  • Gibran tidak hadir di pelantikan kabinet kedua,
  • Listyo Sigit absen saat penjemputan resmi Prabowo di Bali.

Kedua absensi ini muncul bersamaan dengan isu pergantian Kapolri. Artinya jelas: Prabowo sedang mengurangi pengaruh Jokowi, khususnya lewat Listyo di Polri, tapi tetap menjaga pintu kompromi agar tidak menimbulkan perlawanan frontal.

Kesimpulan: Zig-Zag sebagai Seni Kuasa

Jejak politik Prabowo adalah cerminan strategi zig-zag:

  • Merangkul PDIP tapi sekaligus mengikis pengaruhnya,
  • Menyingkirkan orang dekat Jokowi tapi memberi hadiah legacy IKN
  • Mengurangi dominasi Listyo dan jajarannya, tapi tanpa memutus total.
  • Memberikan ruang kepada purnawirawan TNI, lalu memojokkan Listyo
  • Menarik orang Jokowi, berikan ruang kepada Luhut, yang juga orang Jokowi 
  • Memberikan ruang menantu Luhut berkuasa di TNI, sambil imbangi dengan Menhan-Menkopolhukam

Bagi sebagian orang, strategi ini membingungkan. Namun dalam logika kekuasaan, ini adalah seni. Prabowo belajar dari kekalahan tiga kali pilpres: ia tahu kapan harus tunduk, kapan harus memberi, dan kapan harus mengambil.

Kini pertanyaannya: apakah di usia 75 tahun, dengan peluang hanya satu periode penuh (atau bahkan setengah periode), Prabowo bisa menjaga kendali sampai 2029? Ataukah zig-zag ini justru membuka ruang pertarungan baru di 2027-2028, ketika suksesi dan kepentingan oligarki bertemu di satu panggung?. Atau ini indikasi Prabowo menyiapkan periode kedua agar berjalan mulus,-dengan atau tanpa Gibran (Jokowi)?.

Jawabannya hanya bisa dijawab oleh waktu dan sejarah. Kita cukup mengamati dan berharap mereka berbagi kekuasaan dengan tidak mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih besar. Semoga saja..

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun