Sejak beberapa tahun terakhir, buzzer menjadi bagian integral strategi komunikasi sipil. Didukung jejaring Banpol dan ormas pendukung, narasi pro-kepolisian kerap membanjiri TikTok, Instagram, hingga YouTube.
Namun kali ini berbeda. Publik mulai jenuh dengan perang buzzer. Ketika tentara melawan dengan jalur resmi (hak jawab, pernyataan hukum, komunikasi institusional), narasi buzzer justru terlihat kasar, emosional, dan tidak kredibel. Alih-alih memenangkan opini, mereka memperkuat kesan kepolisian sedang panik.
Banpol dan Senkom yang biasanya menjadi motor dukungan di akar rumput pun kehilangan daya. Tanpa narasi kuat dari media arus utama, propaganda mereka melemah. Tentara dengan gaya komunikasi legalistik berhasil mengalahkan gaya buzzer yang emosional.
Perdana Menteri: Menjaga Wajah, Memperkuat Tentara
Perdana Menteri Nepal kembali memainkan peran ganda. Di depan publik ia memberi gestur simbolik kepada kepolisian-misalnya membantah isu pergantian pimpinan. Namun tanda-tanda pelemahan justru makin nyata:
- Agenda reformasi kepolisian memberi peluang perdana menteri mengambil alih arah perubahan.
- Isu calon Kepala Polisi baru sengaja dibiarkan beredar untuk melemahkan posisi pejabat lama.
- Dukungan simbolik terhadap tentara (misalnya mengakomodasi hak jawab) menandakan bahwa pemerintah melihat militer lebih stabil ketimbang kepolisian.
Strateginya jelas: membiarkan kepolisian terkikis legitimasi publik sambil mengangkat citra tentara sebagai penjaga netralitas.
Tentara Nepal di Atas Angin
Kombinasi faktor di atas menempatkan tentara di posisi unggul:
- Narasi publik dimenangkan. Isu keterlibatan militer dalam kerusuhan menghilang.
- Legitimasi simbolik terjaga. Tentara tampil sebagai institusi yang menggunakan jalur hukum dan resmi, bukan buzzer.
- Kedekatan dengan perdana menteri menguat. Tentara tidak disudutkan, bahkan diberi ruang politik lebih besar.
Dalam dialektika sipil-militer, ini titik balik penting. Tentara berada di atas angin, sementara kepolisian masuk fase defensif.
Implikasi Politik: Sipil yang Terhimpit
Dialektika ini bukan hanya soal tentara vs kepolisian. Ada dimensi sipil yang ikut terdampak. Media massa, yang semula menjadi senjata sipil untuk mengontrol militer, justru mundur setelah salah framing. Gerakan sipil yang menuntut reformasi kepolisian bisa jadi malah menguntungkan tentara, karena membuka ruang dominasi militer.