Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pendidikan Bidang Hukum. Pengikut Gerakan Akal Sehat. Ex Relawan BaraJP / KAWAL PEMILU Pembelajar Tanpa Henti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dialektika Kekuasaan Sipil dan Militer Jilid 4: Tentara Nepal di Atas Angin, Kepala Polisi dan Buzzer-Senkom-Banpol Terjepit

17 September 2025   11:12 Diperbarui: 17 September 2025   11:28 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: wiki Iron Man

Sejak beberapa tahun terakhir, buzzer menjadi bagian integral strategi komunikasi sipil. Didukung jejaring Banpol dan ormas pendukung, narasi pro-kepolisian kerap membanjiri TikTok, Instagram, hingga YouTube.

Namun kali ini berbeda. Publik mulai jenuh dengan perang buzzer. Ketika tentara melawan dengan jalur resmi (hak jawab, pernyataan hukum, komunikasi institusional), narasi buzzer justru terlihat kasar, emosional, dan tidak kredibel. Alih-alih memenangkan opini, mereka memperkuat kesan kepolisian sedang panik.

Banpol dan Senkom yang biasanya menjadi motor dukungan di akar rumput pun kehilangan daya. Tanpa narasi kuat dari media arus utama, propaganda mereka melemah. Tentara dengan gaya komunikasi legalistik berhasil mengalahkan gaya buzzer yang emosional.

Perdana Menteri: Menjaga Wajah, Memperkuat Tentara

Perdana Menteri Nepal kembali memainkan peran ganda. Di depan publik ia memberi gestur simbolik kepada kepolisian-misalnya membantah isu pergantian pimpinan. Namun tanda-tanda pelemahan justru makin nyata:

  • Agenda reformasi kepolisian memberi peluang perdana menteri mengambil alih arah perubahan.
  • Isu calon Kepala Polisi baru sengaja dibiarkan beredar untuk melemahkan posisi pejabat lama.
  • Dukungan simbolik terhadap tentara (misalnya mengakomodasi hak jawab) menandakan bahwa pemerintah melihat militer lebih stabil ketimbang kepolisian.

Strateginya jelas: membiarkan kepolisian terkikis legitimasi publik sambil mengangkat citra tentara sebagai penjaga netralitas.

Tentara Nepal di Atas Angin

Kombinasi faktor di atas menempatkan tentara di posisi unggul:

  • Narasi publik dimenangkan. Isu keterlibatan militer dalam kerusuhan menghilang.
  • Legitimasi simbolik terjaga. Tentara tampil sebagai institusi yang menggunakan jalur hukum dan resmi, bukan buzzer.
  • Kedekatan dengan perdana menteri menguat. Tentara tidak disudutkan, bahkan diberi ruang politik lebih besar.

Dalam dialektika sipil-militer, ini titik balik penting. Tentara berada di atas angin, sementara kepolisian masuk fase defensif.

Implikasi Politik: Sipil yang Terhimpit

Dialektika ini bukan hanya soal tentara vs kepolisian. Ada dimensi sipil yang ikut terdampak. Media massa, yang semula menjadi senjata sipil untuk mengontrol militer, justru mundur setelah salah framing. Gerakan sipil yang menuntut reformasi kepolisian bisa jadi malah menguntungkan tentara, karena membuka ruang dominasi militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun