Untuk apa aku merayakan puisi,
jika ia hanya berputar dan berdesakan
di antara kepala dan dinding kamar?
tak seberani "Aku"-nya Chairil,
yang membakar zaman pada masanya.
Lalu Rumi yang berbicara Tuhan dan cinta,
juga Sapardi,
yang membuat hujan jatuh
tanpa perlu alasan.
Puisi pernah menjadi jembatan
antara kota yang hancur dan hati yang belum pulih sepenuhnya,
menjadi sandi rahasia di tengah persekusi,
atau hanya pelipur
bagi mereka yang tak lagi punya tempat kembali.
Namun bagaimana dengan puisiku ini?
yang kutulis dengan tangan kosong
dan dikuasai ketergesa-gesaan.
Apakah ia hanya gema
yang akan hilang dalam ingatanmu?
atau cukup untuk menjadi dengung di telingamu?
Jika boleh,
ia mungkin mampu tinggal satu malam saja di kepalamu,
lalu pulang bersama pagi,
bukankah itu cukup?
Atau barangkali,
ia tak lebih dari sekedar omong kosong,
tapi siapa tahu,
baris-baris ini,
justru bisa mengetuk hatimu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI