Chapter 2
Hari ini aku kembali, setelah pertemuan terakhir dengannya, kini aku bersiap untuk bertemu kembali dan bertukar cerita dengan gadis anggun itu. Aku jadi tidak sabar, kali ini dia pasti akan membawa kisah menarik untukku. Sore ini, kami janjian untuk bertemu di Kedai Kontenta, kedai yang terletak di tepat di depan Panti l'amour, di kedai ini juga aku sering melihat Rara membantu Bu Hisa karena kebetulan Bu Hisa bekerja sebagai peracik teh di kedai ini.
Dari kejauhan aku melihat Rara berlari, dia seperti tergesa-gesa. Semakin dekat, aku dapat melihatnya menghampiriku sambil menangis, aku panik, aku tidak tau apa yang aku harus lakukan sesaat Rara sudah tepat berada di depanku. Dia menunduk dan menangis, tidak mengeluarkan sepetah kata apapun. Aku memegang kedua bahunya dan terus bertanya, ada apa dengannya?
"Aku... Aku kembali kehilangan kawan dekatku, Unno. La... Lala besok akan pergi, ibunya kembali dari Italia," ujarnya yang masih terisak, tiba-tiba saja Rara langsung memelukku dan menenggelamkan kepalanya di dadaku.
"Aku tidak mengerti kenapa dia harus menjadi seorang pembohong liar yang menancapkan luka kepada sahabatnya sendiri. Ini begitu dalam, baru hari ini aku sadar." Ujarnya yang masih dalam pelukanku, Rara benar-benar terisak, aku sendiri tidak kuat mendengar isakan ini.
Ra, tetaplah seperti ini untuk beberapa saat, aku ingin kamu merasa lebih baik. Tidak apa, Ra.
Aku mengangkat kedua tanganku dan membalas pelukannya, "Terimakasih... terimakasih, Unno." Rara berterimakasih kepadaku dengan suaranya yang masih bergetar, "Unno, ternyata segala yang dia berikan adalah apa yang telah dia siapakan, semua terlihat baik-baik saja akan tetapi makna dibalik semua itu sangat-sangat halus tidak terlihat." lanjutnya.
"Sedari kemarin, Lala memang sudah berencana pergi. Salam perpisahan sudah dia sampaikan sedari beberapa hari lalu, rapat sekali dia menutupi ini semua dan pada akhirnya aku kembali kehilangan kawanku."
Tidak apa-apa, Ra. Semua akan baik-baik saja, kamu masih memiliki aku yang berada di sini. Biarkanlah Lala pergi bersama Ibunya, setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan, setiap tawa selalu ada air mata, setiap jabatan tangan selalu ada pelukan perpisahan. Janganlah kamu merasa gusar kepadanya karena ini semua, aku paham dia tidak ingin siapapun merubah apa yang sudah dia tentukan.
"Iya, Unno." Rara menarik senderan wajahnya dari dadaku, dia menatap mataku masih penuh dengan tangis.