Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Tua Itu Narsistik

28 Februari 2024   21:36 Diperbarui: 28 Februari 2024   21:44 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Id. Pinterest Indonesia

Situasi kelas tiba-tiba menjadi tegang. Seorang perempuan  tua, yang duduk dibangku dosen itu melakukan eksploitasi kepada laki-laki berbadan gemuk di pojok ding-ding dekat jendela. 

"Kamu bangga badan kamu gemuk?"

 "Iya Bu." 

"Kalau kamu bangga dengan badan kamu yang gemuk itu, saya akan kasih nilai kamu D," ucap perempuan itu. 

Wajahnya tampak serius, dan nada bicaranya penuh dengan tekanan. Laki-laki gemuk itu pun membisu.
Sekarang perempuan tua itu sedang melakukan  absensi, Tidak ada satu orang pun dikelas itu yang tidak dipermalukannya. Kecuali, mahasiswa yang punya kendaraan. Selainnya, habis dibuatnya jadi bahan cemoohan.

 Kini giliran namaku yang dipanggilnya. "Rania." serunya.


 "Hadir Bu." Kataku sambil mengangkat tangan. 

Dia pikir mentalku akan buyar, Aku tidak takut dengan mulut pedasnya. Aku tegak,  dengan penuh percaya diri, lalu mengeluarkan senyum kecut yang penuh dengan raut terpaksa. 

"Kamu tak usah senyum-senyum, Wajahmu itu lebih jelek dari pantat kuali" katanya. 

Semua orang tertawa.  Aku menarik napas, mencoba tenang, semoga aku tak terbawa emosi.

"Kamu yang kemarin Saya kasih 10 ribu kan?" 

"Iya Bu." 

"Kamu itu manja, yang lain itu pulang punya uang. Kamu malah gak punya modal," katanya.

Seolah-olah Aku pernah  mengemis agar ia memberikan uang 10 ribu itu. Padahal kemarin saat menghadiri kajian rutin di rumahnya,  memang dia  berjanji memberikan ongkos pulang kepada kami. Ia menjanjikan itu kepada kakak tingkat yang dekat denganku. Namanya Kak Mulan, karena Kak Mulan merasa perempuan tua itu sudah berjanji maka dia memaksanya untuk menepati janjinya. Aku sudah tak peduli dengan janji itu, tapi karena paksaan kak Mulan, Aku jadi harus menerima uang itu. Padahal perempuan tua itu tidak ikhlas memberikannya.


Dulu, kukira sosok perempuan tua ini adalah teladan. Namanya terpampang  di cover-cover buku di perpustakaan, di spanduk-spanduk seminar, Ia juga sering dipuji-puji oleh  moderator saat seminar ilmiah atau bedah buku. Sosoknya yang diagung-agungkan saat itu. Membuatku ingin mengenalnya lebih dalam.  Maka Aku putuskan untuk memilih dirinya, menjadi salah satu dosen mata kuliahku.


Sialan, ternyata aku terjebak.  Dia tidak sebaik apa yang Aku pikirkan selama ini. Aku tertipu oleh cover dan namanya yang besar. Aku tertipu oleh kata-kata manis yang mengangkat-ngangkat dirinya di acara seminar atau bedah buku. Aku betul-betul terjerat disini.


Perempuan itu haus akan pujian dan paling penting apa pun yang ia perintahkan kepada mahasiswa harus dilaksanakan. Semuanya, tak peduli itu berkaitan dengan perkuliahan atau hanya kepentingannya. Jika kami tak menaatinya maka dia akan mengancam memberi nilai D. Dia memaksa kami datang ke kajian rutin yang ia buat di rumahnya, mungkin dia ingin cari muka karena disana, dia selalu mengundang orang-orang penting. Para dosen, istri rektor, dan para istri pejabat diundangnya disana. Bila ia memberi sambutan maka ia akan memuji-muji dirinya sendiri. Agar orang pikir, dia hebat karena sudah bisa mengajak banyak mahasiswa mengikuti kajian. Padahal kami semua disini dipaksa dan diancam. Jika kami tak datang maka, dia akan menandai namanya dan akan ia jadikan bahan bulan-bulanan di kelas.


Parahnya lagi, dosen yang satu ini suka melanggar janji. Aku ingat betul saat kontrak kuliah. Ia mengatakan tidak mewajibkan para mahasiswanya untuk membeli bukunya. Meskipun ia menganjurkan membelinya, tapi ia menyematkan semua kembali kepada mahasiswa. Tapi, saat dua minggu perkuliahan akan berakhir. Ia tiba-tiba mengeluarkan kebijakan bahwa mahasiswanya wajib membeli buku karyanya.  Jika buku karyanya itu tidak dibeli, lagi-lagi ia mengatakan nilai tidak akan aman.


Aku tidak habis pikir dengan pemikiran dosen yang satu ini. Ternyata Ia begini, sudah sejak lama. Bahkan sudah bertahun-tahun. Aku tahu itu dari beberapa kating yang pernah diajarnya. Selama bertahun-tahun tidak ada yang melakukan protes, tidak ada yang berani. Karena tak ada yang mau mengambil risiko, jika sampai nilai diberikannya D maka mahasiswa akan mengulang, dan memperlambat kuliah para mahasiswa.  
Aku tidak mau membeli bukunya. Bukan karena aku tak punya uang, tapi aku tak berselera karena semua tindakanku serasa ada dalam paksaan. Aku seperti orang munafik jika selalu mengikuti perintah perempuan tua itu. Padahal jika kuhitung, dia sangat sering tidak masuk ke kelas. Tak seharusnya ia memberikan kewajiban pada mahasiswa, sedangkan kewajibannya ia lalai. Dia sering tidak masuk dengan alasan karena hujan, atau kecapean, tidak ada yang jemput dari ruangannya, atau ketika moodnya tidak bagus. Semua alasannya tidak punya logika. Yang berlogika hanya saat ia pergi untuk tugas keluar kota, itu pun hanya satu kali.


Suatu hari, sebelum masuk kelas Aku mendengar kawan-kawanku mengeluhkan pembayaran buku yang mahal. Semua tidak ada yang suka dengan tekanan yang diberikan perempuan tua itu. Tapi mereka tidak mau menentangnya, mereka hanya bisa mengeluhkan semua keluhan saat perempuan tua itu tidak ada. Dan Aku, mendengar semua keluhan teman-teman sekelasku. Dengan rasa geram, Aku berniat ingin bicara pada perempuan tua itu.


Dia datang, ia langsung duduk. Meletakkan tas dan laptopnya ke atas meja. Mengejutkan, yang pertama ia tanya adalah siapa yang tak mau membeli buku? Ia mengulangi pertanyaan itu hingga tiga kali. Kemudian dia menyampaikan bahwa kami tak perlu takut untuk angkat tangan.  Karena itu, Aku langsung angkat tangan. "Apa alasan kamu tidak mau membeli buku?" 

"Aku tak punya uang Bu," ucapku. Padahal bukan itu alasanku yang sesungguhnya. 

"Kalau tak punya uang gak usah kuliah," ucapnya. Seolah-olah hanya orang-orang yang punya uang saja yang boleh mendapatkan pendidikan. 

"Kamu makan?" 

"Tentu Bu. Makan itu tentunya jauh lebih penting, karena itu kebutuhan pokok," ucapku. 

"Kamu gak usah bohong, kamu pasti punya uang kan. Sekarang kamu pilih mana, kamu beli buku. Atau, kamu keluar." Dia kira Aku takut dengan ancaman kuno itu.

 Dengan kepala dingin, Aku bersikap tenang. Aku mulai memberikan opiniku. Aku tahu calon profesor sepertinya pasti bisa menerima apa yang akan kusampaikan ini. 

"Mohon maaf Ibu, tapi Ibu bilang sebelumnya membeli buku tidak wajib. Saya masih ingat betul, tidak ada kesepakatan kita di kontrak kuliah untuk membeli buku. Dan tiba-tiba saja ibu mewajibkan kami, itu pun saat perkuliahan hampir akan selesai" kataku.

 "Benarkan, apa yang saya bilang. Kamu itu gak mau beli buku bukan karena gak punya uang."  Aku Diam. 

"Sekarang, Aku tanya ke kamu itu kan pas kontrak kuliah. Sekarang Aku wajibkan, kenapa kamu gak mau? Kamu gak suka? Keluar!" katanya dengan nada tinggi.

 "Maaf Bu, saya kira tak ada alasan untuk saya keluar. Karena bahkan di ketentuan kampus tidak ada peraturan yang mengatakan jika tidak membeli buku Ibu. Maka tidak boleh masuk kuliah. Peraturan seperti itu tidak ada Bu"


Wajah perempuan Tua itu mengerut, kali ini ia merasa geram denganku. Ia langsung mencoret namaku dari absen. Mungkin karena aku adalah orang pertama yang berani protes padannya. Aku sudah tidak dianggap ada dikelas itu. Ia kemudian melakukan pembelaan atas dirinya. Dia kuras emosi mahasiswa yang lain, dengan menceritakan masalah pribadinya. Sungguh manusia yang manipulatif. 

"Seharusnya Ibu tidak menceritakan masalah pribadi kepada kami, dan seharusnya Ibu tidak menjadikan masalah pribadi sebagai alasan untuk pembelaan," ucapku.


"Kurang ajar kamu, beraninya kamu berkata seperti itu kepada saya. Keluar kamu sekarang juga!" Nada suaranya meninggi.  Alisnya menaik ke atas, matanya melotot merah, wajahnya penuh amarah. 

"Saya minta maaf Bu, Saya hanya ingin menyampaikan bahwa Ibu sudah menekan banyak orang. Semua mahasiswa di kelas ini tidak ada yang ikhlas membeli buku. Mereka semua melakukan itu karena terpaksa." Ucapku.


"Kamu mau saya jual narkoba?" katanya. Apa itu jawaban yang layak dari seorang dosen? Betul-betul tidak punya integritas.

 "Mohon maaf Ibu, tidak menjual narkoba bukan berarti Ibu bisa memaksakan kami membeli buku. Apa pun alasan Ibu. Itu bukan alasan yang logis dan profesional karena alasan Ibu tidak mencerminkan sikap seorang akademisi"

Wajahnya memanas, Api ditubuhnya kini membara. Ia seperti seorang macan yang siap menerkam mangsanya. Sementara Aku masih tenang di bangku ku. Tiba-tiba perempuan tua itu mendorong meja.  Bak orang yang kesurupan, dia teriak-teriak tidak jelas. 

"Keluar kamu!" Aku tetap tenang, dalam batinku aku tertawa. Bayangkan saja, bagaimana mungkin seorang dosen yang sebentar lagi diangkat menjadi guru besar semarah itu saat ada mahasiswa yang memberikan kritikan. Padahal, Aku memberi kritik dengan tenang dan memakai bahasa yang sopan. Seharusnya dia mempertimbangkan kritik itu.

"Keluar! Kalau kamu tidak mau keluar, biar saya yang keluar"  Aku menarik napas dalam. Mencoba tenang, dan mempertahankan diri. 

Seorang laki-laki yang mengaku kosma berbicara. 

"Enggak Bu. Ibu jangan pergi. Dia tidak punya bukti kan Bu mengatakan itu." Ucapnya. 

Sialan, memang betul-betul munafik pria itu. Padahal barusan, di depanku dia dan seluruh teman-teman sekelas mengeluh tentang perempuan tua ini.


Karena merasa tak dapat dukungan dari teman-teman sekelas aku pun berdiri. Kusandang tasku dengan tegap.

"Baik Bu, Aku keluar. Tapi ingat baik-baik Bu. Yang Ibu lakukan itu salah. Ibu sudah melakukan tindakan sepihak demi kepentingan Ibu"

"Pergi Kamu! Saya akan kasih nilai D untukmu. Karena kamu tidak punya akhlak dan adab pada gurumu!" ucapnya.

"Jika karena saya menyampaikan sebuah kebenaran saya dianggap tidak punya adab. Maka baiklah saya akan belajar  tentang adab lagi. Dan jika karena saya tidak mau beli buku nilai saya D, saya ikhlas.  Saya cukup tahu dan bisa menilai guru seperti apa yang ada di hadapan saya ini" Ucapku lalu aku berjalan keluar.

"Oke! Itu mau mu, lihat saja saya akan kasih nilai D" katanya teriak-teriak.


Setelah tiga hari berlalu atas kejadian itu orang-orang menyuruhku untuk meminta maaf. Katanya Aku tak akan bisa melawan calon profesor seperti dia. Lagi pula, Aku juga dihantui rasa bersalah karena sudah membuat emosi orangtua bangka padahal sebentar lagi akan idul adha. Maka aku ingin menyelesaikannya baik-baik. Aku pun menemuinya di kantornya. Saat itu di kantornya sangat ramai dosen yang lain. Mengejutkan dia langsung memaafkanku saat itu. Tidak tahu kenapa, Dia berkata manis dan bahkan juga tersenyum padaku. Karena itu aku pun menyalam tangannya,  Apa kamu  percaya bahwa dia memaafkanku dengan tulus? Awalnya aku juga mengira begitu. 


Namun, Kamu tahu? kukira Perempuan tua itu ikhlas memaafkanku. Tapi ternyata dia punya muka dua. Senyumnya itu hanya supaya kedoknya tak terbongkar. Dia takut aku bersuara, dan dosen lain pun tahu kelakuannya yang sesungguhnya. Betul-betul perempuan tua yang narsistik.


Mirisnya, Dia sengaja tidak membiarkan teman-temanku yang lain memberi tahuku sistem ujian. Hingga ketika ujian, Aku tidak tahu kalau ujian kami dilakukan dengan sistem  open book. Sehingga saat ujian semua orang bisa melihat buku. Hanya aku yang tidak bisa, karena aku tak punya buku. Menurutmu ujian seperti apa ini? Apa gunanya ujian jika melihat buku diperbolehkan? Aku mengarang bebas tidak tahu mau menulis apa, karena soal di kertas ini  tak pernah kami bahas saat perkuliahan. Hingga aku pun terlihat paling goblok.


Kini  Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dia punya bukti jika ingin membuat nilaiku D. Nilai ujianku memang  benar anjlok, dosen laknat itu memberiku nilai D. Dia memang seniat itu untuk memberi pelajaran padaku. Tapi yang paling membuatku geleng kepala adalah dia tulis di sistem informasi akademik bahwa sikap ku nol. Angka bulat itu disematkannya di nilai sikap ku. Seolah-olah  selama perkuliahan aku tak pernah sopan padanya,  seolah-olah Aku selalu menjambak rambutnya, berkata kasar padanya, dan mempermalukannya di kelas. Hahahaha... edan dosen yang satu ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun