Oleh : Rahmi Sustri dan Sri Yona
Ketika kita berbicara tentang kualitas pendidikan, ujung tombaknya tidak lain adalah guru. Di lapangan, profesionalisme guru di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan mendasar, mulai dari proses rekrutmen yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan nyata, distribusi guru yang belum merata, hingga sistem pengembangan karier yang cenderung administratif dibanding berbasis prestasi dan kompetensi. Padahal, kita sudah memiliki fondasi regulasi yang cukup kuat. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen secara tegas menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional. Tapi apakah status "profesional" itu sudah benar-benar tercermin dalam praktik sehari-hari? Sayangnya, belum.
Proses rekrutmen guru misalnya, masih terkesan sentralistik dan belum mempertimbangkan peta kebutuhan aktual di satuan pendidikan. Akibatnya, banyak sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) kekurangan guru, sementara sekolah di perkotaan justru mengalami kelebihan. Ini ironi yang terus berulang, semangat pemerataan akses pendidikan tidak sejalan dengan kebijakan penempatan tenaga pendidiknya.
Distribusi Guru yang Tidak Berkeadilan
Kesenjangan distribusi guru menciptakan ketimpangan akses terhadap layanan pendidikan yang bermutu. Data dari BPS dan Kemendikbudristek dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa wilayah-wilayah terpencil masih kekurangan guru berkualitas, terutama pada mata pelajaran sains, matematika, dan bahasa Inggris. Bahkan, dalam beberapa kasus, satu guru harus mengampu dua hingga tiga mata pelajaran berbeda karena minimnya SDM pendidikan.
Ironisnya, program afirmatif seperti Guru Garis Depan (GGD) dan relokasi melalui PPPK belum menyelesaikan akar persoalan, sebab banyak guru yang ditempatkan ke daerah 3T tidak mendapatkan dukungan fasilitas, jaminan tunjangan yang layak, atau bahkan tidak bertahan lama karena minimnya kepastian karier dan kenyamanan hidup.
Pengembangan Profesional: Antara Formalitas dan Kebutuhan Nyata
Masalah lain yang tak kalah serius adalah lemahnya sistem pengembangan profesional guru. Abad ke-21 menuntut guru yang adaptif, melek teknologi, berpikir kritis, dan mampu mengelola pembelajaran berbasis digital. Namun dalam praktiknya, pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, cenderung seragam, bersifat top-down, dan tidak selalu berdasarkan kebutuhan nyata guru di lapangan.
Komunitas belajar seperti MGMP dan KKG sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi ruang pertumbuhan kompetensi yang kolaboratif dan kontekstual. Tapi sayangnya, tidak semua daerah memfasilitasi forum ini secara aktif. Banyak guru yang bahkan tidak tahu kapan MGMP dilaksanakan atau menganggap forum tersebut sekadar rutinitas yang harus dihadiri demi laporan.
Dalam hal ini, pengembangan profesional seharusnya tidak berhenti di ruang pelatihan. Harus ada integrasi antara pelatihan, refleksi praktik, dan insentif karier. Guru-guru yang melakukan inovasi pembelajaran, mengembangkan media ajar, atau memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajaran,semestinya mendapatkan apresiasi dan diakui sebagai bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Sistem Karier Guru yang Kurang Apresiatif