Mohon tunggu...
Rahman Wahid
Rahman Wahid Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Menggapai cita dan melampauinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Adicinta: Repetisi

16 September 2019   18:57 Diperbarui: 16 September 2019   19:14 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay/msandersmusic

"Sungguh mengapa nestapa

Mencintai dia yang tak setara

Rumit, mengantar pada dilema

Membebani raga, menyayat rasa"

Tuhan, andai pertemuan itu tak pernah terjadi, sudah barang tentu tak akan semerana ini. Pikiran terhuyung tidak karuan, raga kelelahan tak terelakan. Mengapa kala itu aku malah berdiam di perpustakaan? Mengapa tidak berdiam di sekitar kantin atau kelas. Sungguh menjemukan. Pasalnya hal itu yang akhirnya mempertemukanku denganmu "Rena". Bukan sekali!

Rena, setelah aku menyisir seluk beluk tentangmu. Seperti sebelumnya, aku tahu kau orang terpandang, itu kata informanku. Dan, memang kenyataannya begitu. Lemas hati ini mendapat kabar demikian. Serasa diberi sekoper uang, lalu raib digasak pencuri. Sakit, pedih dan memilukan. Mengapa Rena, mengapa nasib kita berbeda.

Ketidaksetaraan ini mengantarkan aku pada ruang penyesalan. Bagaimana bisa aku begitu mudah jatuh hati padanya. Padahal kepada wanita yang lain aku tak memiliki perasaan abnormal semacam ini. Ya, mencintainya adalah sebuah ketidaklumrahan yang tak tahu harus kusebut anugerah atau masalah. Disatu sisi bahagia, dan sisi lainnya merana.

Lalu ditengah ketidakpastian itu, pertemuan kedua dengannya ibarat oase yang memberikan kesegaran dan kejernihan akal pikiran. Lagi-lagi bagaimana bisa dia kembali datang ke perpustakaan di saat yang sama denganku. Apakah takdir memang menyuratkan kita harus berpapasan di tempat ini. Entahlah, terlalu misterius.

Saat itu, aku memang sedang mencari beberapa buku. Tentu karena suruhan dosen. Perlu keajaiban jika mengandalkan kesadaran dalam diriku untuk membaca. Itu amat sulit. Rena kemudian datang dengan langkah yang cukup asing dalam pendengaranku. Sampai ia lagi-lagi, dengan suara yang lembut menyapaku

"Maaf mas"

Kaget, aku baru saja mendengar suara dari orang yang minggu lalu menggetarkan jiwaku. Seolah tak percaya, aku terdiam seper sekian detik untuk mencerna dan memancing memori singkat untuk memastikan apakah itu suaranya. Namun itu tidak cukup Rena, terlalu bias. Mau tak mau aku harus membuktikannya dengan melihat si penyapa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun