Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menimbang Sistem Gaji Tunggal Aparatur Sipil Negara

12 Oktober 2025   19:22 Diperbarui: 12 Oktober 2025   19:22 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ASN adalah profesi bagi PNS dan PPPK yang bekerja pada instansi pemerintah. (Foto: Kompas/Wawan H Prabowo)

Kompas (11/10/2025) menyebut wacana single salary atau sistem penggajian tunggal bagi aparatur sipil negara (ASN) kembali mencuat dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2026, terutama pada bagian kebijakan prakiraan maju belanja negara 2026-2029.

Namun, yang menarik, gagasan ini sesungguhnya bukan hal baru: sejak era 2014 sejumlah mantan pimpinan KPK pernah mengusulkan skema gaji tunggal, dan pada Agustus 2017 BKN pernah menerbitkan dokumen kebijakan skema gaji tunggal (Civil Apparatus Policy Brief).

Selain itu, sejak Juni 2023, pemerintah melakukan uji coba simulasi single salary di 15 instansi; 7 pemerintah pusat dan 8 tingkat daerah sebagai pilot project (Liputan6.com; Detik).

Namun uji coba itu bersifat simulasi di atas kertas, belum menyentuh praktik penggajian nyata. Bila demikian, kapan dan bagaimana single salary akan diterapkan secara nasional tetap menjadi pertanyaan besar.

Sebagai seorang lulusan magister administrasi publik, saya sangat tertarik untuk membahas topik tersebut dengan mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah single salary dapat menjadi solusi reformasi atau justru membawa risiko baru bagi birokrasi Indonesia?

Apa itu "single salary"?

Selama ini di Indonesia, sistem penggajian ASN masih bersifat fragmentaris: gaji pokok ditentukan berdasarkan golongan dan masa kerja, sedangkan komponen tunjangan (tunjangan keluarga, jabatan, kinerja, lauk-pauk, daerah, dan sebagainya) diatur secara parsial oleh masing-masing instansi.

Akibatnya, total take-home pay ASN sangat beragam, bahkan untuk jabatan dengan beban kerja serupa.

Singe salary system atau sistem gaji tunggal muncul untuk menjawab persoalan tersebut. Dengan prinsip transparansi, kesetaraan, dan efisiensi administrasi.

Secara ringkas, single salary berarti menyatukan berbagai komponen penghasilan (gaji pokok plus beragam tunjangan kecil dan variasi tunjangan fungsional/kelas jabatan) menjadi satu struktur penggajian yang terstandar.

Dalam praktiknya, ini bisa berarti melebur tunjangan keluarga, tunjangan pangan/beras, dan beberapa tunjangan lain ke dalam satu paket gaji yang diindeks atau diposisikan sesuai grade pekerjaan.

Namun, penafsiran teknis berbeda-beda: ada yang memaknai sebagai "menghapus tunjangan kecil dan menjadikan gaji pokok lebih besar", ada pula yang menargetkan perubahan sistem grade dan point-job evaluation.

Dokumen RAPBN menyebut penerapan dalam periode jangka menengah, tetapi kementerian terkait menegaskan bahwa konsep masih dibahas dan pelaksanaannya akan dipetakan lebih lanjut.

Meski tercantum, implementasi praktisnya belum jelas kapan dan bagaimana akan dilakukan--apakah bersifat reformasi bertahap atau lompatan sistemik yang merombak struktur gaji dan tunjangan secara menyeluruh.

Keuntungan Potensial Single Salary ASN

Berdasarkan informasi dari beragam sumber dapat dijelaskan potensi keuntungan atas penerapan single salary, yaitu:

1. Transparansi dan Keadilan Internal

Single salary menyatukan berbagai komponen penghasilan (gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan kemahalan) ke dalam satu paket angka. Dengan demikian perbedaan antar-lembaga atas penetapan tunjangan (yang sering bersifat arbitrer) bisa dikecilkan. Konsep keadilan organisasi (equity theory) mendukung agar pegawai membandingkan input (kerja) dan output (imbalan) secara adil--struktur gaji tunggal dapat memberi dasar keadilan horizontal antar-pejabat setara.

2. Penyederhanaan Administrasi dan Pengurangan Biaya Transaksional

Sistem penggajian sekarang terfragmentasi dengan puluhan jenis tunjangan (keluarga, jabatan, pangan, kesehatan, komunikasi, transportasi, insentif, dll). Hal ini menimbulkan beban administratif pengelolaan tunjangan, verifikasi, reporting, dan potensi penyimpangan atau kebocoran. Single salary bisa mengurangi kompleksitas itu dan meminimalkan beban pengawasan internal.

3. Penguatan Kaitannya antara Kinerja dengan Imbalan

Jika desain single salary digabung dengan sistem penilaian kinerja yang kredibel, maka bisa menciptakan hubungan yang lebih tegas antara kontribusi dan kompensasi--sesuai dengan semangat New Public Management (NPM) yang mendorong akuntabilitas dan orientasi hasil.

4. Prediktabilitas Anggaran dan Stabilitas Fiskal

Dengan paket gaji yang standar berdasarkan grade jabatan, pemerintah dapat merencanakan beban gaji jangka panjang dengan lebih akurat. Ini mengurangi volatilitas anggaran tunjangan yang sering tergantung pada kebijakan ad hoc tiap instansi.

5. Potensi Pengurangan Praktik Tunjangan "Kreatif" atau Distorsi

Selama ini, lembaga terkadang menggunakan tunjangan khusus (yang kadang sulit diaudit) untuk menarik talenta atau memberi insentif tak resmi. Dengan sistem tunggal, ruang bagi tunjangan semacam itu dapat dikurangi, meminimalkan penyalahgunaan atau diskriminasi tersembunyi.

Pengalaman Singapura dan Malaysia

Ada dua negara di Asia Tenggara yang digadang-gadang menjadi percontohan dari sistem gaji tunggal ASN di Indonesia, yaitu Singapura dan Malaysia. Bagaimana penerapannnya, mari kita tengok sejenak.

Singapura: Gaji ASN Terintegrasi & Meritokratik

ASN Singapura (disebut Public Service Officers) digaji berdasarkan grade dan job value dalam sistem yang disebut Total Remuneration Framework (TRF).

Di bawah TRF, semua komponen--gaji pokok, bonus tahunan, tunjangan, dan insentif kinerja--diintegrasikan dalam satu paket kompensasi yang transparan dan dinamis. Tidak ada tunjangan-tunjangan kecil seperti di Indonesia.

Salah satu prinsip utama sistem Singapura adalah paritas kompetitif dengan gaji sektor swasta. Pemerintah melakukan survei rutin untuk memastikan gaji ASN setara dengan posisi serupa di perusahaan swasta. Ini mencegah brain drain dan menjaga reputasi birokrasi sebagai karier profesional.

Kebijakan gaji di Singapura dibingkai dalam filosofi meritokrasi: "Reward the deserving, attract the talented, and retain the capable."

Dengan sistem yang transparan dan berbasis data, kebijakan penggajian juga berfungsi sebagai mekanisme antikorupsi--karena ASN digaji tinggi dan layak, disertai pengawasan yang ketat.

Indonesia bisa belajar bahwa gaji tunggal bukan sekadar simplifikasi administratif, melainkan strategi besar untuk memperkuat integritas, kompetisi sehat, dan produktivitas sektor publik. Namun, Singapura mampu menerapkannya karena:

  • birokrasi ramping,
  • data SDM lengkap dan akurat,
  • sistem evaluasi jabatan berbasis kinerja yang kredibel, dan
  • kultur meritokrasi yang kuat.

Tanpa empat faktor tersebut, implementasi sistem serupa di Indonesia berisiko besar gagal atau tidak adil.

Malaysia: Reformasi Remunerasi Publik & Sistem SSPA

Malaysia pada 2024-2025 melakukan review besar terhadap skema remunerasi publik (serangkaian perubahan yang menuju ke harmonisasi dan penyesuaian struktur gaji/imbalan). Pendekatan Malaysia lebih gradual, mengkombinasikan penyesuaian gaji pokok plus insentif sementara, sambil mempertahankan beberapa tunjangan khusus.

Pelajaran Malaysia: reformasi sukses memerlukan komunikasi publik yang baik, paket transisi (one-off incentives), dan perhatian pada kelompok rentan dalam birokrasi. 

Malaysia menekankan bahwa reformasi remunerasi tidak bisa hanya menaikkan tunjangan; harus ada perubahan paradigmatik. Namun, beban fiskal dan tekanan dari pegawai menuntut langkah hati-hati.

Kendala: Kompleksitas dan Resistensi

Meski menjanjikan, penerapan sistem gaji tunggal bukan tanpa risiko. Pertama, dampak fiskal dan resistensi politik. ASN yang selama ini menerima tunjangan besar bisa menolak jika take-home pay mereka menurun. Pemerintah perlu menyiapkan skema transisi yang adil dan komunikatif.

Kedua, kompleksitas penilaian jabatan. Sistem ini menuntut adanya job evaluation framework yang kredibel, transparan, dan berbasis data. Tanpa itu, sistem tunggal justru menciptakan ketidakadilan baru.

Ketiga, keterbatasan kesiapan digital dan integrasi data ASN. Hingga kini, masih terdapat ketidaksinkronan data antara BKN, KemenPAN-RB, dan Kementerian Keuangan. Padahal, basis data tunggal menjadi fondasi mutlak bagi pelaksanaan sistem ini.

Mengarahkan Reformasi Secara Realistis

Jika Indonesia ingin menerapkan sistem gaji tunggal secara efektif, maka reformasi ini harus dilakukan bertahap dan berbasis bukti. Pemerintah perlu membangun kerangka evaluasi jabatan nasional yang objektif dan adaptif terhadap variasi daerah serta instansi.

Uji coba di 15 instansi perlu dijadikan laboratorium kebijakan yang menghasilkan pelajaran empiris: bagaimana dampak psikologis bagi ASN, bagaimana perubahan perilaku kerja, dan berapa efisiensi fiskal yang dapat dicapai. Tanpa hasil evaluatif yang kuat, kebijakan ini akan berisiko menjadi sekadar slogan reformasi.

Selain itu, penting untuk diingat bahwa reformasi gaji bukan sekadar urusan fiskal, tetapi juga budaya birokrasi. Indonesia memerlukan perubahan paradigma bahwa kerja di sektor publik bukan sekadar pengabdian, melainkan profesi yang menuntut kompetensi dan integritas tinggi--dan karena itu, perlu diberi penghargaan yang layak dan proporsional.

Pada titik ini, pengalaman Singapura memberikan pelajaran penting: reformasi penggajian ASN berhasil bukan hanya karena uang, melainkan karena komitmen terhadap meritokrasi dan akuntabilitas. Tanpa dua nilai itu, sistem tunggal hanya akan menjadi struktur baru dengan perilaku lama

Kesimpulan

Reformasi gaji ASN di Indonesia harus dipandang bukan sebagai isu teknis semata, melainkan bagian dari transformasi manajemen ASN, etos birokrasi, dan tata kelola negara.

Sistem gaji tunggal bagi ASN merupakan langkah strategis menuju birokrasi modern yang efisien, adil, dan berintegritas.

Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak bergantung pada rumus gaji semata, melainkan pada kesanggupan pemerintah membangun kepercayaan dan sistem evaluasi yang transparan.

Seperti dikatakan Osborne dan Gaebler (1992), reformasi birokrasi sejati bukan tentang membangun aturan baru, tetapi tentang mengubah cara pemerintah bekerja dan berpikir. Itulah tantangan sesungguhnya dalam perjalanan menuju birokrasi Indonesia yang profesional

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun