Koperasi kerap dianggap sebagai "soko guru perekonomian nasional", sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Sampai kematiannya, Bung Hatta meyakini koperasi sebagai solusi melawan kapitalisme Barat.
Namun, sejarah panjang koperasi di Indonesia menunjukkan bahwa idealisme demokrasi ekonomi tidak selalu berjalan mulus.
Alih-alih menjadi wadah kolektif warga, koperasi sering kali direduksi menjadi instrumen politik praktis, atau bahkan jatuh ke tangan elit lokal yang menguasai akses modal, jaringan, dan kedekatan dengan pemerintah.
Dalam konteks itulah Kementerian Koperasi (Kemenkop) kini berupaya melakukan langkah baru dengan strategi berlapis.
Rekrutmen posisi strategis seperti Project Management Officer, Business Assistant, hingga Pendamping Desa adalah ikhtiar untuk memperkuat fungsi kelembagaan koperasi, mencegah stagnasi, dan memastikan bahwa koperasi benar-benar dikelola oleh warga desa secara partisipatif.
Artikel ini hendak mengurai situasi perkembangan koperasi Merah Putih, membandingkannya dengan kelemahan historis koperasi di masa lalu, serta menawarkan analisis konstruktif agar koperasi tidak kembali jatuh dalam jebakan oligarki lokal.
Kelemahan Historis Koperasi di Indonesia
Kota Balikpapan misalnya, tercatat ada 438 koperasi terdata, tapi jumlah ini kemudian turun karena banyak koperasi tidak aktif atau pengurus/alamat tidak jelas; pada 2025 tinggal sekitar 113--134 unit yang secara administratif aktif dan jelas (Fokusborneo.com, 2/2/2025).
Kompas (12/7/2025) mencatat bahwa sebaran koperasi aktif tidak merata. Pulau Jawa masih memegang dominasi dalam jumlah koperasi aktif dan volume usaha.
Sebagai contoh, Pulau Jawa memiliki volume usaha koperasi terbesar (pendapatan barang dan jasa) mencapai sekitar Rp131 triliun dalam suatu periode.