Mohon tunggu...
Rafly Febriansyah
Rafly Febriansyah Mohon Tunggu... Security - Scavenger Poem

Ada yang harus aku tuju, kemudian aku buat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Persimpangan

8 Juni 2021   18:15 Diperbarui: 12 Juni 2021   01:29 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Terkadang seseorang yang selalu di anggap keji, masih membuahkan kebajikan walau jarang dipuji"

Aku berdiri di atas trotoar basah. Di bawah halte yang di apit kedua lampu jalanan yang sedang bermesraan tanpa jas hujan. Jalanan ini sudah terbiasa sepi, jarang sekali kendaraan atau pejalan kaki yang lalu-lalang melintasi jalan diatas jam 9 malam.

Mungkin ada beberapa, pedagang kaki lima yang sedang berteduh atau bahkan memang tinggal dibawah jembatan, didepan halte sepi ini. Mereka merebah dengan mengenakan sehelai kardus dan daun-daun kering yang gugur ketika hujan berpaling lama untuk tidak menyiramnya.

Di jalan ini aku tidak melihat tanda nama. Kesekian aku melirik berbagai arah, tetap saja hujan dan kesunyian jalan yang kutatap. 

Aku hendak berpikir untuk memberi tempat ini nama, tetapi aku bukanlah orang yang pertama berdiri di halte ini. Bisa saja mereka yang tertidur, yang lebih dulu menempati tempat ini. 

Sedang aku, baru kali ini dan mungkin hanya beberapa kali ke depan atau tidak sama sekali. Jadi apa arti pemberian nama dariku untuk tempat ini, jika aku tidak menetap di ruang ini.

Beberapa menit kemudian. Setelah langit telah meredakan tangisnya dengan segumpal angin dan beberapa pohon yang jatuh. Aku melihat seorang perempuan berjalan ke arahku. 

Wajahnya samar, aku tidak bisa melihat apa ia benar-benar menangis atau hanya sisa-sisa tetesan hujan yang membasahi kedua pipinya.

Aku merasakan tubuhnya yang menggigil terlapis dengan pakaian basah, dan kulit-kulitnya yang keriput juga kaki telanjang tanpa alas. Ternyata ia kehujanan, bukan menangis atau bermandian dengan air matanya sendiri. 

"Kau adalah lelaki pertama kali yang kulihat betah berdiri dihalte ini sendiri," ujar perempuan itu tanpa permisi. Suaranya agak serak, wajahnya anggun dengan beberapa helai rambut basah yang menutupi wajahnya. Ditambah bibirnya yang kecil sedang keriput berwarna ungu.

"Jangan berjalan sendiri jika kau adalah lelaki lajang, banyak halte lain untuk berteduh."

Aku menggelengkan kepala. Sedikit kasmaran banyak ngerinya, aku takut kalau ia itu bukanlah manusia. Tetapi kedua kakinya menapak dengan tenang dan akupun tidak mencium bau-bau kemenyan atau melati disekitarku. Justru aku mencium parfum perawan yang luntur, seperti wewangian yang terbasuh dengan tetesan air hujan.

Aku kembali duduk di kursi halte sembari membuka tas gemblokku. Aku ingat, ada sisa roti di dalamnya. Aku mengeluarkan roti itu, membukanya dengan perlahan. 

Lalu aku tawarkan kepada perempuan itu. Tetapi ia menggelengkan kepala, kemudian aku belah dengan sama rata. Belahan itu sudah ada dilengannya sebelum penawaranku bersuara. Aku tidak menghiraukannya, mungkin ia lapar karena tubuhnya yang kedinginan.

Perempuan itu melahap dengan satu suapan, mengunyahnya dengan beberapa kunyahan. Aku menawarkannya lagi dengan roti yang baru kugigit satu gigitan. Tetapi ia menolaknya dengan lontaran senyum. 

Aku menikmati roti ini dan menghabiskannya dengan perlahan. Ia melihatku dengan mata bergelimang dan senyum yang memberontak mulut agar tidak dapat bicara. 

"Aku sudah lama tinggal dihalte ini. Disini sepi, aku terlalu jarang mendengar suara gemuruh orang-orang yang berjalan diatas jam sembilan malam. Aku hanya mendengar keramaian, ketika tubuhku mereka beli dengan segumpal uang. Di ruang gelap beralasan seprei putih, di sebuah gedung berkaki panjang tanpa tangan." 

Sepertinya ia adalah pelacur, aku sedikit memahami kata-katanya yang ia nyatakan kepadaku. Telingaku mendengar lebih teliti.

"Kau tidak usah khawatir, aku hanya melayani lelaki yang sudah tidak lajang. Aku mempunyai adik seusia remaja, aku khawatir jika aku menerima layanan lelaki remaja. Adik ku akan berlaku seperti mereka." 

Perempuan itu menegaskanku untuk tidak takut. Memang aku tidak takut dengannya, hanya saja aku merasa aneh dengan mimpiku sebelum tidur. Kenapa hal seperti ini selalu datang tanpa mimpi indah, agar aku tahu kemana aku harus melangkah dan bagaimana aku menanggapinya.

Dalam benakku, aku memberanikan diri untuk bertanya. Tetapi sebelum aku tuturkan, ia lebih dulu memberi tahuku. Alur macam apa ini, ia selalu membaca apa yang ada dipikiran dan di dalam benakku. Alah! Ini hanya kebetulan saja, ia memang ingin menyatakan hal seperti itu. 

"Kira-kira ada puluhan duda dan lelaki yang masih berumah tangga. Tetapi lelaki yang berumah tangga lebih banyak, karena ia adalah perantau yang jauh dengan istrinya. Hanya dua macam status, selebihnya aku menolaknya tanpa paksaan. 

"Beberapa darinya ada yang ketahuan dengan istrinya, dan dua kali diriku dilabrak oleh istrinya. Ada juga yang ingin melampiaskan nafsu tanpa membayar, yang mereka berikan hanyalah pukulan, dan cacian untukku. Dan aku pulang dengan tangisan."

Perempuan itu menunduk. Pipinya hampir kering, tetapi ia basahi kembali dengan hujan yang ia buat sendiri. Aku tidak tahu mengapa ia menangis, apa dari pernyataan yang sebelum air kedua matanya jatuh. Atau ada hal lain yang ia ingat, sehingga ia harus meratapinya dengan tangisan.

Semua sunyi tidak ada suara atau bebunyian lainnya. Aku bergegas untuk pergi, merangkul tas dan merapihkan pakaianku yang acak-acakan terkena angin. 

Lalu aku mendekati perempuan itu lebih dekat untuk pamit. Tetapi rintihannya semakin sendu untuk didengar, dan langkahku kembali tak tergerak untuk mendekatinya.

Angin semakin bersemilir tak karuan, daun-daun berterbangan membawa beberapa tetes air. Aku tetap duduk dengan pandangan kosong.

"Kang!"

Sekejap panggilan itu belum luntur, kepalaku menoleh lebih cepat untuk menatapnya. Lenganku gemetar, kedua kakiku kaku untuk berpindah tempat. Semua pandangan gelap, hanya air menggenang yang menyala terkena pancaran dari cahaya lampu jalan. 

Terima kasih sudah menemaiku bercerita di halte yang sepi ini, kau beruntung sudah mendengarkanku. Sebab, dari orang-orang yang pernah disekelilingku. 

Tidak berkenan jika telinganya mendengar gemuruh suaraku. Bersenanglah, mungkin cerita ini bisa bermanfaat untuk adik perempuanmu, atau sodara perempuanmu atau bisa teman-teman perempuanmu. 

Aku berdiam sejenak. Menghela napas untuk bersuara lebih lamban. Tetapi angin itu mengusirnya lebih cepat. Dan gesekan daun-daun menyamarkan suara langkah kakinya. Langit itu menangis lagi, jalan itu tetap sepi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun