"Beberapa darinya ada yang ketahuan dengan istrinya, dan dua kali diriku dilabrak oleh istrinya. Ada juga yang ingin melampiaskan nafsu tanpa membayar, yang mereka berikan hanyalah pukulan, dan cacian untukku. Dan aku pulang dengan tangisan."
Perempuan itu menunduk. Pipinya hampir kering, tetapi ia basahi kembali dengan hujan yang ia buat sendiri. Aku tidak tahu mengapa ia menangis, apa dari pernyataan yang sebelum air kedua matanya jatuh. Atau ada hal lain yang ia ingat, sehingga ia harus meratapinya dengan tangisan.
Semua sunyi tidak ada suara atau bebunyian lainnya. Aku bergegas untuk pergi, merangkul tas dan merapihkan pakaianku yang acak-acakan terkena angin.Â
Lalu aku mendekati perempuan itu lebih dekat untuk pamit. Tetapi rintihannya semakin sendu untuk didengar, dan langkahku kembali tak tergerak untuk mendekatinya.
Angin semakin bersemilir tak karuan, daun-daun berterbangan membawa beberapa tetes air. Aku tetap duduk dengan pandangan kosong.
"Kang!"
Sekejap panggilan itu belum luntur, kepalaku menoleh lebih cepat untuk menatapnya. Lenganku gemetar, kedua kakiku kaku untuk berpindah tempat. Semua pandangan gelap, hanya air menggenang yang menyala terkena pancaran dari cahaya lampu jalan.Â
Terima kasih sudah menemaiku bercerita di halte yang sepi ini, kau beruntung sudah mendengarkanku. Sebab, dari orang-orang yang pernah disekelilingku.Â
Tidak berkenan jika telinganya mendengar gemuruh suaraku. Bersenanglah, mungkin cerita ini bisa bermanfaat untuk adik perempuanmu, atau sodara perempuanmu atau bisa teman-teman perempuanmu.Â
Aku berdiam sejenak. Menghela napas untuk bersuara lebih lamban. Tetapi angin itu mengusirnya lebih cepat. Dan gesekan daun-daun menyamarkan suara langkah kakinya. Langit itu menangis lagi, jalan itu tetap sepi.