Aku menggelengkan kepala. Sedikit kasmaran banyak ngerinya, aku takut kalau ia itu bukanlah manusia. Tetapi kedua kakinya menapak dengan tenang dan akupun tidak mencium bau-bau kemenyan atau melati disekitarku. Justru aku mencium parfum perawan yang luntur, seperti wewangian yang terbasuh dengan tetesan air hujan.
Aku kembali duduk di kursi halte sembari membuka tas gemblokku. Aku ingat, ada sisa roti di dalamnya. Aku mengeluarkan roti itu, membukanya dengan perlahan.Â
Lalu aku tawarkan kepada perempuan itu. Tetapi ia menggelengkan kepala, kemudian aku belah dengan sama rata. Belahan itu sudah ada dilengannya sebelum penawaranku bersuara. Aku tidak menghiraukannya, mungkin ia lapar karena tubuhnya yang kedinginan.
Perempuan itu melahap dengan satu suapan, mengunyahnya dengan beberapa kunyahan. Aku menawarkannya lagi dengan roti yang baru kugigit satu gigitan. Tetapi ia menolaknya dengan lontaran senyum.Â
Aku menikmati roti ini dan menghabiskannya dengan perlahan. Ia melihatku dengan mata bergelimang dan senyum yang memberontak mulut agar tidak dapat bicara.Â
"Aku sudah lama tinggal dihalte ini. Disini sepi, aku terlalu jarang mendengar suara gemuruh orang-orang yang berjalan diatas jam sembilan malam. Aku hanya mendengar keramaian, ketika tubuhku mereka beli dengan segumpal uang. Di ruang gelap beralasan seprei putih, di sebuah gedung berkaki panjang tanpa tangan."Â
Sepertinya ia adalah pelacur, aku sedikit memahami kata-katanya yang ia nyatakan kepadaku. Telingaku mendengar lebih teliti.
"Kau tidak usah khawatir, aku hanya melayani lelaki yang sudah tidak lajang. Aku mempunyai adik seusia remaja, aku khawatir jika aku menerima layanan lelaki remaja. Adik ku akan berlaku seperti mereka."Â
Perempuan itu menegaskanku untuk tidak takut. Memang aku tidak takut dengannya, hanya saja aku merasa aneh dengan mimpiku sebelum tidur. Kenapa hal seperti ini selalu datang tanpa mimpi indah, agar aku tahu kemana aku harus melangkah dan bagaimana aku menanggapinya.
Dalam benakku, aku memberanikan diri untuk bertanya. Tetapi sebelum aku tuturkan, ia lebih dulu memberi tahuku. Alur macam apa ini, ia selalu membaca apa yang ada dipikiran dan di dalam benakku. Alah! Ini hanya kebetulan saja, ia memang ingin menyatakan hal seperti itu.Â
"Kira-kira ada puluhan duda dan lelaki yang masih berumah tangga. Tetapi lelaki yang berumah tangga lebih banyak, karena ia adalah perantau yang jauh dengan istrinya. Hanya dua macam status, selebihnya aku menolaknya tanpa paksaan.Â