Kita hidup di zaman ketika kata "mengikut Yesus" sering terdengar ringan di bibir, tetapi tidak selalu dibarengi dengan kesediaan  memikul konsekuensinya. Banyak orang tertarik kepada Yesus karena pengharapan akan kesembuhan, kelimpahan, atau perubahan hidup yang instan. Tak sedikit pula yang mengira menjadi Kristen artinya hidup akan lebih mudah, doa cepat dijawab, dan berkat terus mengalir. Namun benarkah demikian? Alkitab tidak pernah menjanjikan jalan yang mulus bagi para pengikut Kristus. Justru, Yesus sendiri memberi peringatan yang tajam bahwa mengikut Dia berarti siap kehilangan banyak hal duniawi. Bahkan dalam Matius 8:18-22, kita melihat bagaimana Yesus dengan sengaja "menyaring" orang-orang yang hendak mengikut-Nya. Respons Yesus terhadap kerumunan justru mengejutkan. la menyuruh bertolak ke seberang. Ini menunjukkan bahwa Yesus tidak terpikat oleh popularitas, tidak mencari tepuk tangan atau pengikut musiman. la tidak mengukur keberhasilan dari jumlah, tetapi dari kedalaman komitmen.
   Di dunia sekarang, banyak pelayanan dan gereja mengukur keberhasilan dari jumlah jemaat, follower media sosial, atau struktur dan ukuran gedung gereja. Namun, Yesus mengajarkan bahwa inti dari pelayanan adalah hati yang sungguh-sungguh mengikut Dia, bukan sekadar angka. "Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi." (Mat. 8:19) "Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya." (Mat. 8:20). Seorang ahli Taurat datang dengan semangat besar. la ingin ikut Yesus. Tetapi Yesus langsung membongkar romantisme pikirannya. la menjawab dengan jujur: bahwa Anak Manusia bahkan tidak punya tempat beristirahat. Pesan Yesus jelas: jangan mengikut Aku kalau engkau hanya ingin kenyamanan. Mengikut Yesus bisa berarti hidupmu tidak lagi sama. Bisa berarti kamu harus kehilangan pekerjaan, sahabat, atau kenyamanan hidup. Yesus tidak menjual mimpi - la menawarkan salib.
   "Tuhan, izinkanlah aku pergi dahulu menguburkan ayahku." (Mat. 8:21). "Ikutlah Aku dan biarlah orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka." (Mat. 8:22) Permintaan murid ini terdengar wajar: ia ingin menguburkan ayahnya. Namun frasa ini dipahami banyak penafsir sebagai cara halus untuk berkata: "Nanti saja, Tuhan." Mungkin ayahnya belum meninggal. Mungkin ia hanya menunda sampai semua urusan keluarga selesai. Jawaban Yesus keras tetapi jelas: jangan tunda! Panggilan untuk mengikut Yesus adalah sekarang. Orang-orang yang mati secara rohani bisa mengurus hal-hal duniawi, tetapi kamu yang sudah mengenal terang - harus segera menanggapi panggilan hidup baru itu. Dalam realitas kehidupan kita hari ini, ada banyak bentuk "penundaan rohani":Â
"Tuhan, nanti saja aku pelayanan, setelah anak-anak besar."
   "Saya mau sungguh-sungguh, tetapi setelah karier saya stabil."
 "Saya akan mengikut Tuhan, tetapi nanti, setelah bisnis saya aman."
     Tanpa disadari, kita seperti murid tadi menunda ketaatan sambil tetap terlihat rohani. Padahal setiap penundaan adalah bentuk penolakan terhadap urgensi panggilan Kristus. Mengikut Kristus bukanlah perjalanan yang nyaman, melainkan panggilan yang menuntut ketaatan total, pengorbanan, dan keberanian untuk keluar dari segala yang membuat kita merasa aman tetapi tidak bertumbuh. Zona nyaman entah berupa rutinitas rohani yang suam-suam kuku, kemapanan yang tak rela diganggu, atau alasan-alasan yang tampak masuk akal - sering kali menjadi penghalang utama bagi ketaatan sejati. Yesus tidak memanggil kita untuk hidup enak, tetapi untuk hidup setia. Ketika kita lebih mencintai kenyamanan daripada kebenaran, lebih memilih aman daripada taat, maka sebenarnya kita sedang menjadikan zona nyaman kita sebagai musuh langsung dari panggilan Kristus.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI