SADARKAH DIRI KITA, SESUNGGUHNYA ADALAH HAMBA ALLAH?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Sadarkah diri kita, sesungguhnya adalah hamba Allah? Sudahkah kita berhenti sejenak untuk menatap ke dalam dan bertanya: "Mengapa aku ada? Untuk siapa aku hidup? Siapa yang sesungguhnya mengatur denyut nafasku?" Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, namun memiliki daya guncang yang mampu merobohkan benteng ego dan membangunkan jiwa yang tertidur. Karena jika kita tak pernah bertanya, kita akan terus berjalan dalam kegelapan, merasa bebas padahal terikat, merasa berkuasa padahal rapuh.
Kesombongan adalah bentuk paling halus dari lupa diri karena ia memutus hubungan antara makhluk dan Penciptanya. Kita lupa bahwa segala yang kita "punya" hanyalah titipan, dan bahwa kita sendiri hanyalah pengelola sementara yang setiap saat bisa dipanggil pulang. Seperti ungkapan hikmah yang telah teruji sepanjang zaman, "Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya." Sebab mengenali diri berarti mengakui keterbatasan, dan mengakui keterbatasan adalah langkah pertama untuk kembali kepada Allah.
Dari kedua kategori hamba Allah ini, sejatinya terjalin sebuah sinergi yang harmonis, karena keduanya menuntut kesadaran mendalam bahwa posisi mereka bukanlah untuk menguasai atau memaksakan kehendak, melainkan untuk melayani dengan penuh tanggung jawab. Sebagai hamba yang taat dan rendah hati, mereka dipanggil untuk menjalankan tugasnya dengan niat tulus, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, serta menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.
Tongkat yang dipegang oleh seorang hamba Allah sebagai pekerja di ladang rohani bukan sekadar alat fisik, melainkan simbol tanggung jawab yang sangat dalam dan mulia. Tongkat itu digunakan untuk menyadarkan jiwa-jiwa yang tersesat, membimbing mereka yang kebingungan, menggembalakan umat agar tidak terjerumus ke dalam jurang dosa, serta menghibur hati yang gundah.
Melalui sabda Allah yang disampaikan dengan penuh kelembutan dan ketulusan, tongkat itu menjadi medium untuk menasehati tanpa paksaan, mengajak pada refleksi, dan mengantarkan mereka kepada jalan pertobatan yang sebenar-benarnya. Di tangan para pekerja rohani, tongkat ini menjadi lambang kasih dan pengabdian yang tiada lelah, yang selalu mengupayakan kedamaian dan kebajikan dalam kehidupan manusia.
Sebaliknya, bagi seorang hamba Allah yang bekerja di pemerintahan, pedang yang dipegangnya adalah simbol otoritas dan keadilan. Pedang itu bukan alat kekerasan semata, melainkan instrumen untuk menjalankan aturan dan undang-undang yang menegakkan kebenaran. Pedang tersebut menjadi perwujudan murka Allah terhadap ketidakadilan dan kezaliman yang mengancam tatanan kehidupan.