Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sadarkah Diri Kita, Sesungguhnya Adalah Hamba Allah?

10 Agustus 2025   19:06 Diperbarui: 10 Agustus 2025   19:06 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: mbizmarket.co.id

SADARKAH DIRI KITA, SESUNGGUHNYA ADALAH HAMBA ALLAH?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: youtube.com
Input gambar: youtube.com
Dalam hiruk pikuk kehidupan modern, kita sering terjebak dalam rutinitas yang tak memberi ruang untuk merenung. Waktu kita tersita oleh tuntutan pekerjaan, urusan keluarga, dan keinginan-keinginan pribadi yang tak ada habisnya. Kita berlomba mengumpulkan harta, mengejar pencapaian, dan mencari pengakuan, seolah semua itu adalah tujuan akhir dari hidup ini. Dalam prosesnya, perlahan kita menjadi seperti mesin yang bergerak tanpa henti, tetapi kehilangan arah tujuan yang sesungguhnya. Hidup berjalan cepat, namun hati terasa hampa; kita punya segalanya di genggaman, tetapi kehilangan sesuatu yang paling mendasar: kesadaran akan siapa kita sebenarnya.

Sadarkah diri kita, sesungguhnya adalah hamba Allah? Sudahkah kita berhenti sejenak untuk menatap ke dalam dan bertanya: "Mengapa aku ada? Untuk siapa aku hidup? Siapa yang sesungguhnya mengatur denyut nafasku?" Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, namun memiliki daya guncang yang mampu merobohkan benteng ego dan membangunkan jiwa yang tertidur. Karena jika kita tak pernah bertanya, kita akan terus berjalan dalam kegelapan, merasa bebas padahal terikat, merasa berkuasa padahal rapuh.

Input gambar: fadlinobita.blogspot.com
Input gambar: fadlinobita.blogspot.com
Salah satu tanda paling nyata bahwa manusia lupa akan statusnya sebagai hamba adalah ketika ia merasa "memiliki" segalanya. Fenomena ini begitu kentara dalam kehidupan modern, di mana keberhasilan materi, kecerdasan, dan teknologi sering menumbuhkan ilusi bahwa manusia berkuasa penuh atas hidupnya. Namun, di balik semua itu, kesombongan perlahan menyusup, membuat kita meyakini bahwa semua pencapaian itu murni hasil usaha kita semata.

Kesombongan adalah bentuk paling halus dari lupa diri karena ia memutus hubungan antara makhluk dan Penciptanya. Kita lupa bahwa segala yang kita "punya" hanyalah titipan, dan bahwa kita sendiri hanyalah pengelola sementara yang setiap saat bisa dipanggil pulang. Seperti ungkapan hikmah yang telah teruji sepanjang zaman, "Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya." Sebab mengenali diri berarti mengakui keterbatasan, dan mengakui keterbatasan adalah langkah pertama untuk kembali kepada Allah.

Input gambar: gramedia.com
Input gambar: gramedia.com
Memaknai keterpanggilan sebagai seorang hamba Allah memang tidaklah tunggal; ia terbagi dalam berbagai bentuk pengabdian yang mencerminkan keragaman tugas dan peran dalam kehidupan. Secara umum, kita bisa membedakan dua kategori. Pertama, hamba Allah yang berperan sebagai pekerja di ladang rohani yakni mereka yang mengabdikan diri dalam pelayanan keagamaan, dakwah, pengajaran, dan bimbingan spiritual. Mereka ini menanam benih-benih iman dan kebaikan dalam jiwa manusia, menjaga api keimanan tetap menyala di tengah tantangan zaman. Kedua, ada hamba Allah yang bekerja di pemerintahan, yang mengemban amanah mengelola urusan dunia secara adil dan bijaksana. Meski beroperasi dalam ranah keduniawian, mereka tetap dipanggil untuk melayani dengan integritas, menjadikan kepemimpinan sebagai bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta dan masyarakat.

Dari kedua kategori hamba Allah ini, sejatinya terjalin sebuah sinergi yang harmonis, karena keduanya menuntut kesadaran mendalam bahwa posisi mereka bukanlah untuk menguasai atau memaksakan kehendak, melainkan untuk melayani dengan penuh tanggung jawab. Sebagai hamba yang taat dan rendah hati, mereka dipanggil untuk menjalankan tugasnya dengan niat tulus, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, serta menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Tongkat yang dipegang oleh seorang hamba Allah sebagai pekerja di ladang rohani bukan sekadar alat fisik, melainkan simbol tanggung jawab yang sangat dalam dan mulia. Tongkat itu digunakan untuk menyadarkan jiwa-jiwa yang tersesat, membimbing mereka yang kebingungan, menggembalakan umat agar tidak terjerumus ke dalam jurang dosa, serta menghibur hati yang gundah.

Melalui sabda Allah yang disampaikan dengan penuh kelembutan dan ketulusan, tongkat itu menjadi medium untuk menasehati tanpa paksaan, mengajak pada refleksi, dan mengantarkan mereka kepada jalan pertobatan yang sebenar-benarnya. Di tangan para pekerja rohani, tongkat ini menjadi lambang kasih dan pengabdian yang tiada lelah, yang selalu mengupayakan kedamaian dan kebajikan dalam kehidupan manusia.

Sebaliknya, bagi seorang hamba Allah yang bekerja di pemerintahan, pedang yang dipegangnya adalah simbol otoritas dan keadilan. Pedang itu bukan alat kekerasan semata, melainkan instrumen untuk menjalankan aturan dan undang-undang yang menegakkan kebenaran. Pedang tersebut menjadi perwujudan murka Allah terhadap ketidakadilan dan kezaliman yang mengancam tatanan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun