Di ujung sebuah gang sempit ada warung kecil yang setia menjual satu jenis minuman. Menunya itu-itu saja, sudah puluhan tahun. Cerita seperti ini bukan hal aneh di Indonesia. Banyak kota punya versinya sendiri.
Lama-lama, tempat semacam ini jadi legenda. Orang bersumpah rasanya tidak pernah berubah dan tak bisa ditiru. Mereka rela datang dari jauh, antre lama, hanya untuk meneguk sepotong kenangan.
Yang membuat kuliner legendaris bertahan bukan sekadar resep. Kuncinya sering kali sebuah keyakinan yang keras kepala: tempat ini yang terbaik. Kenapa? Karena hanya ada satu.
Letaknya terpencil malah jadi daya tarik. Lokasi yang terasa eksklusif membangun mitosnya sendiri.Â
Pengunjung merasa mendapatkan sesuatu yang spesial, sebuah pengalaman yang menempel lama. Tidak semua orang bisa mencicipinya, dan itu menambah aura.
Kita melihat pola ini pada banyak ikon. Contohnya Gudeg Yu Djum di Yogyakarta. Atau Sate Klatak Pak Pong. Dua-duanya masuk daftar wajib para pelancong, terutama karena lokasinya yang sangat spesifik.
Ada juga urusan tradisi yang dijaga ketat. Prosesnya serba manual dan otentik, dikerjakan tangan demi tangan, persis seperti puluhan tahun lalu. Tidak ada mesin modern. Tidak ada bahan instan.
Cara seperti ini terasa lebih jujur, lebih ada rasanya. Banyak orang menyukainya. Seolah ada bentuk perlawanan halus terhadap dunia yang serbamendesak dan efisien. Makanan dibuat pelan-pelan, dengan sabar. Setiap porsi membawa sentuhan personal. Rasanya seperti punya jiwa.
Bahan pengikat yang paling kuat sebenarnya nostalgia. Makanan sederhana bisa jadi mesin waktu. Satu gigitan membawa kita pulang ke masa kecil. Yang muncul bukan hanya manis atau gurih, tapi memori.
Fenomena ini sudah dibahas dalam studi perilaku konsumen. Nostalgia terbukti meningkatkan minat beli seseorang.
Seperti pada sebuah studi tahun 2019 di Jurnal Manajemen dan Bisnis. Jadi pelanggan bukan semata membeli produk. Mereka datang membeli sepotong masa lalu yang mereka sayangi.