Refleksi seorang guru tentang para pamong yang menjadi cahaya sunyi dalam kehidupan berasrama
Di balik kehidupan sekolah berasrama yang teratur dan penuh dinamika, ada sosok-sosok yang tak selalu tampak di permukaan, tetapi kehadirannya begitu menentukan. Mereka bukan kepala sekolah, bukan guru mata pelajaran, bukan pula petugas kebersihan atau keamanan. Mereka adalah pamong---para pembimbing asrama yang hidup bersama anak-anak dalam keseharian, dalam suka dan duka, dari pagi hingga malam, dari hari ke hari.
Seringkali, pamong hanyalah sebuah nama yang terdengar sekilas saat upacara, disebut saat pembagian tugas kegiatan, atau tertulis dalam struktur organisasi asrama. Namun, bagi mereka yang tinggal dan hidup dalam ekosistem sekolah berasrama, pamong bukan sekadar nama. Mereka adalah ruh yang menjaga nyala hidup di balik tembok-tembok kamar asrama dan lorong-lorong sunyi tempat anak-anak beranjak dewasa.
Saya menulis ini bukan sebagai seorang pamong, melainkan sebagai seorang guru yang turut menyaksikan dan merasakan kehadiran mereka. Bertahun-tahun saya mengajar di sekolah ini, dan semakin lama saya berada di sini, semakin saya menyadari satu hal: saya banyak belajar dari para pamong.
Hadir Tanpa Jam Kerja
Menjadi guru memang tidak mudah. Ada tanggung jawab akademik, administratif, dan ekspektasi dari berbagai pihak. Tapi menjadi pamong, menurut saya, membutuhkan keikhlasan yang jauh lebih dalam. Tidak ada bel pulang bagi pamong. Tidak ada batasan waktu kerja yang jelas. Mereka tinggal di tempat yang sama dengan anak-anak, makan bersama, tidur di kamar yang hanya bersekat tipis dari kamar anak-anak, dan terus-menerus hadir dalam berbagai momen.
Ketika malam tiba dan guru-guru lain sudah kembali ke rumah, pamong tetap berjaga. Saat akhir pekan datang dan guru-guru punya waktu berkumpul dengan keluarga, pamong tetap tinggal. Ketika ada anak yang sakit tengah malam, pamonglah yang pertama tahu dan pertama bertindak. Ketika ada anak yang menangis karena rindu rumah, pamonglah yang memeluk dan menguatkan.
Kehadiran mereka bukan administratif. Bukan pula formalitas kerja. Kehadiran mereka adalah kehadiran yang utuh yang mencintai dan melayani tanpa pamrih.
Kesabaran yang Tak Tertulis di Buku
Bersama para pamong, saya belajar tentang kesabaran dalam bentuk paling nyata. Di usia remaja, anak-anak kita seringkali labil,mudah tersinggung, mudah kecewa, mudah kehilangan arah. Ada yang sulit diatur, ada yang keras kepala, ada yang memberontak dalam diam. Menghadapi mereka tidak cukup hanya dengan perintah atau kemarahan. Dibutuhkan hati yang lapang dan sabar yang tak mudah goyah.
Saya pernah menyaksikan seorang pamong menenangkan anak yang mengamuk di malam hari karena tidak diizinkan pulang. Dengan suara rendah, ia tidak hanya menenangkan, tetapi juga merangkul dengan empati. Tidak ada bentakan, tidak ada kemarahan. Malam itu, saya merasa seperti ditampar oleh kenyataan: saya, yang merasa sudah "berpengalaman," ternyata masih harus belajar banyak dari kesabaran seorang pamong.