Kesabaran mereka bukan hasil pelatihan, bukan hasil teori pendidikan. Ia lahir dari kasih yang tulus, dari niat mendampingi, dan dari semangat menjadi teman perjalanan bagi anak-anak yang sedang bertumbuh.
Cinta yang Tak Mencari Balasan
Ada cinta dalam pendidikan yang tak bisa diajarkan di ruang kuliah. Cinta yang tak terucap, tapi terasa. Cinta yang tak menuntut balasan, tapi terus mengalir. Dan cinta itu saya lihat dalam keseharian para pamong.
Mereka tidak berharap pujian. Nama mereka jarang disebut saat rapat. Mereka tidak masuk daftar penghargaan tahunan. Tapi di ruang batin anak-anak, pamong punya tempat yang istimewa.
Saya masih ingat, seorang alumni pernah kembali ke sekolah dan berkata, "Saya bisa kuat menjalani SMA karena ada Pak Pamong. Kalau beliau tidak ada, saya mungkin sudah menyerah." Kata-kata itu sederhana, tapi menyentuh. Dan saya yakin, banyak alumni lain punya cerita serupa, cerita yang tak tertulis di rapor, tapi hidup dalam hati mereka.
Menjadi Rumah dalam Sunyi
Para pamong tidak membuat PowerPoint, tidak menyusun RPP, dan tidak mengisi e-Rapor. Tapi mereka mendidik. Mereka mendidik dengan tindakan, dengan kehadiran, dan dengan cara menyikapi hari-hari yang sederhana.
Ketika seorang anak belajar bertanggung jawab atas kebersihan kamarnya, ada pamong di balik proses itu. Ketika siswa belajar menyelesaikan konflik dengan teman sekamarnya, ada pamong yang memediasi. Ketika seorang remaja keras kepala akhirnya luluh, ada pamong yang sabar mendengarnya setiap malam.
Mereka adalah pendidik yang menyalakan pelita dalam diam. Dan saya percaya, dalam dunia pendidikan yang sering riuh oleh target dan prestasi, pamong justru menjadi sumber keheningan yang menyembuhkan.
Refleksi Seorang Guru
Sebagai guru, saya sering merasa lelah. Jadwal padat, tugas administratif, tuntutan dari banyak arah. Tapi ketika saya melihat para pamong yang tetap hadir, saya belajar kembali tentang makna profesi ini.