Demonstrasi beberapa waktu terakhir bukan sekadar ledakan emosi kolektif; ia mencerminkan sebuah proses panjang pencarian kesadaran.Â
Bila memakai kaca mata Paulo Freire, masyarakat kita tengah bergerak dari kesadaran magis, ketika penderitaan dianggap sebagai takdir yang tak bisa diubah, menuju kesadaran naif, ketika ketidakadilan mulai dikenali dan ditolak, meski seringkali disertai ekspresi yang belum terarah.
Protes besar terhadap kebijakan elit, kemarahan atas kematian Affan Kurniawan, hingga tuntutan agar suara rakyat didengar, semua itu adalah tanda bahwa masyarakat mulai keluar dari belenggu "diam".Â
Ini adalah langkah penting---bahkan positif---menuju kesadaran kritis. Namun, di saat yang sama, asap ban yang terbakar mengepul di depan gedung parlemen, bentrokan di jalanan, dan tindakan represif aparat justru memberi isyarat bahwa kita masih sering terjebak dalam kesadaran naif: kita tahu ada yang salah, tetapi cara mengungkapkan kemarahan justru merusak kemungkinan dialog dan solusi.
Dari Amarah Menuju Kesadaran Kritis
Di titik inilah refleksi kita diuji. Demonstrasi adalah ekspresi rakyat yang sudah tidak mau lagi menganggap ketidakadilan sebagai hal biasa.Â
Itu patut diapresiasi karena ia menunjukkan adanya harapan: rakyat tidak lagi pasrah pada nasib. Namun, ekspresi itu kehilangan makna jika ia hanya menghasilkan kehancuran.Â
Ketika api melahap gedung-gedung DPRD, atau ketika aparat menjawab suara rakyat dengan kekerasan, maka yang muncul bukan kesadaran kritis, melainkan kebuntuan yang justru melukai proses pencarian makna itu sendiri.
Kesadaran kritis tidak lahir hanya dari pikiran atau kemarahan. Ia hadir melalui praksis: persatuan sejati antara tindakan dan refleksi. Artinya, demonstrasi harus lebih dari sekadar aksi massa; ia juga harus menghadirkan refleksi, dialog, dan strategi perubahan yang jelas.
Dalam konteks ini, tantangan terbesar kita bukan sekadar mengendalikan amarah di jalanan, melainkan bagaimana mengarahkan amarah itu menjadi tuntutan yang konstruktif.Â
Demonstrasi seharusnya membuka ruang dialog, bukan menutupnya. Demonstrasi seharusnya membangun solidaritas, bukan menciptakan ketakutan baru. Demonstrasi seharusnya menyalakan api kesadaran, bukan sekadar meninggalkan abu.
Kita perlu khawatir, bila energi ini berhenti pada tahap naif, maka bangsa ini hanya akan berputar dalam lingkaran frustrasi. Rakyat akan terus marah, pemerintah akan terus defensif, dan luka sosial akan semakin dalam.Â
Tetapi jika energi ini diarahkan menuju kesadaran kritis, maka demonstrasi bisa menjadi titik balik penting: bukan hanya menolak ketidakadilan, tetapi juga menata ulang arah bangsa dengan cara yang lebih adil dan bermartabat.
Kesadaran kritis membutuhkan keberanian dari dua sisi. Dari rakyat, keberanian untuk terus bersuara dengan cara yang membangun, bukan menghancurkan.Â
Dari pemerintah, keberanian untuk mendengar dengan hati, bukan hanya dengan telinga; untuk merasakan, bukan sekadar mengamati. Tanpa itu, jurang antara rakyat dan penguasa hanya akan semakin lebar.
Api di jalanan janganlah membakar gedung; biarlah ia membakar ketidakpedulian yang sudah terlalu lama mengeras di tubuh bangsa ini.Â
Luka di hati rakyat jangan sampai membuat kita menyerah; biarlah ia menjadi pengingat bahwa demokrasi adalah perjuangan yang menuntut pengorbanan, kesabaran, dan keberanian.
Dalam asap, teriakan, dan bentrokan, aku ingin percaya bahwa bangsa ini sedang bergerak. Mungkin jalannya masih panjang, mungkin sering salah arah, tetapi proses itu nyata. Dan dari proses itulah, kesadaran kritis bisa lahir---asal kita tidak berhenti di tengah jalan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI