Ada pepatah lama yang bilang:
usia adalah guru yang paling bijak.
Kita diajari percaya bahwa rambut memutih menandakan kedewasaan, bahwa keriput di wajah adalah tanda pengalaman, bahwa langkah pelan berarti hati-hati menjaga bangsa.
Tapi di negeri ini, punya pejabat yang sudah tua-tua kadang jadi semacam "kenyamanan" tersendiri.
Enaknya? Ah, mari saya ceritakan...
Pidato yang Jadi Nyanyian Malam
Ketika pejabat sepuh berbicara, kata-katanya mengalir seperti lagu lama.
Pelan, panjang, kadang melantur, sering menoleh ke masa lalu.
Rakyat mendengarkan dengan khusyuk---bukan karena isi pidato itu mencerahkan,
tapi karena nada nostalgianya meninabobokan.
Seperti doa pengantar tidur yang membuat kita pasrah pada keadaan.
Kebijakan yang Berjalan dengan Tongkat
Ada enaknya juga,
kebijakan pejabat tua biasanya tak berlari, melainkan berjalan tertatih.
Setiap keputusan seperti memakai tongkat: pelan, hati-hati, bahkan sering berhenti di tengah jalan.
Bagi rakyat, ini kabar baik.
Kita punya cukup waktu untuk bersiap, untuk menyesuaikan diri,
atau sekadar berharap: "ah, mungkin nanti juga lupa dijalankan."
Negeri yang Ikut Menjadi Reuni
Pejabat tua sering membawa serta keluarganya.
Anak, cucu, menantu---semua bisa ikut melanjutkan jejak.
Bangsa pun seperti sebuah reuni panjang,
di mana kursi jabatan bukan lagi amanah,
melainkan warisan yang dipajang di ruang tamu keluarga besar.
Rakyat? Kita hanya penonton setia,
menyaksikan drama yang sudah bisa kita tebak akhir ceritanya.
Hidup yang Diminta untuk Bersyukur
Dan inilah enaknya yang paling manis---atau paling getir.
Pejabat sepuh selalu pandai menasihati:
"Dulu hidup lebih susah. Maka bersyukurlah kalian hari ini."
Rakyat pun diam, mengangguk,
meski dalam hati bertanya:
"Kalau dulu susah, mengapa hari ini masih begini?"
Sayangnya.. Enak yang Sementara
Maka, begitulah enaknya punya pejabat yang sudah tua-tua.
Kita hidup tenang dalam kebijakan yang lambat,
kita terhibur oleh pidato nostalgia,
kita belajar pasrah dalam drama keluarga yang tak berkesudahan.
Namun di balik itu, ada getir yang tak bisa disembunyikan.
Bangsa yang terlalu lama dipimpin mereka yang menua,
bisa ikut menua pula semangatnya.
Kita seperti perahu yang enggan berlayar,
terikat pada dermaga masa lalu.
Dan pada akhirnya,
"enaknya" itu hanya sementara.
Yang berkepanjangan adalah penantian:
kapan tongkat estafet benar-benar berpindah,
kepada tangan yang lebih segar,
kepada jiwa yang masih berani bermimpi,
kepada pemimpin yang benar-benar menua bersama rakyat---
bukan sekadar duduk di kursi sampai rambut memutih seluruhnya.