Mohon tunggu...
Qomaruddin
Qomaruddin Mohon Tunggu... Copywriter yang tertarik pada isu pendidikan dan pemberdayaan masyarakat | Humas Al Irsyad Purwokerto | Redaktur Suara Al Irsyad

Menulis kata, merangkai aksi, dan menumbuhkan harapan untuk dunia yang lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Api di Jalanan, Luka di Hati Bangsa

30 Agustus 2025   20:00 Diperbarui: 1 September 2025   13:36 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana aksi solidaritas di Surabaya, Jumat (29/8/2025). (Sumber: kompas.com/AZWA SAFRINA)

Demonstrasi beberapa waktu terakhir bukan sekadar ledakan emosi kolektif; ia mencerminkan sebuah proses panjang pencarian kesadaran. 

Bila memakai kaca mata Paulo Freire, masyarakat kita tengah bergerak dari kesadaran magis, ketika penderitaan dianggap sebagai takdir yang tak bisa diubah, menuju kesadaran naif, ketika ketidakadilan mulai dikenali dan ditolak, meski seringkali disertai ekspresi yang belum terarah.

Protes besar terhadap kebijakan elit, kemarahan atas kematian Affan Kurniawan, hingga tuntutan agar suara rakyat didengar, semua itu adalah tanda bahwa masyarakat mulai keluar dari belenggu "diam". 

Ini adalah langkah penting---bahkan positif---menuju kesadaran kritis. Namun, di saat yang sama, asap ban yang terbakar mengepul di depan gedung parlemen, bentrokan di jalanan, dan tindakan represif aparat justru memberi isyarat bahwa kita masih sering terjebak dalam kesadaran naif: kita tahu ada yang salah, tetapi cara mengungkapkan kemarahan justru merusak kemungkinan dialog dan solusi.

Dari Amarah Menuju Kesadaran Kritis

Di titik inilah refleksi kita diuji. Demonstrasi adalah ekspresi rakyat yang sudah tidak mau lagi menganggap ketidakadilan sebagai hal biasa. 

Itu patut diapresiasi karena ia menunjukkan adanya harapan: rakyat tidak lagi pasrah pada nasib. Namun, ekspresi itu kehilangan makna jika ia hanya menghasilkan kehancuran. 

Ketika api melahap gedung-gedung DPRD, atau ketika aparat menjawab suara rakyat dengan kekerasan, maka yang muncul bukan kesadaran kritis, melainkan kebuntuan yang justru melukai proses pencarian makna itu sendiri.

Kesadaran kritis tidak lahir hanya dari pikiran atau kemarahan. Ia hadir melalui praksis: persatuan sejati antara tindakan dan refleksi. Artinya, demonstrasi harus lebih dari sekadar aksi massa; ia juga harus menghadirkan refleksi, dialog, dan strategi perubahan yang jelas.

Dalam konteks ini, tantangan terbesar kita bukan sekadar mengendalikan amarah di jalanan, melainkan bagaimana mengarahkan amarah itu menjadi tuntutan yang konstruktif. 

Demonstrasi seharusnya membuka ruang dialog, bukan menutupnya. Demonstrasi seharusnya membangun solidaritas, bukan menciptakan ketakutan baru. Demonstrasi seharusnya menyalakan api kesadaran, bukan sekadar meninggalkan abu.

Kita perlu khawatir, bila energi ini berhenti pada tahap naif, maka bangsa ini hanya akan berputar dalam lingkaran frustrasi. Rakyat akan terus marah, pemerintah akan terus defensif, dan luka sosial akan semakin dalam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun