Pernah lihat foto bayi orangutan dipeluk relawan pakai selimut? Lucu ya? Tapi tau nggak, di balik itu ada cerita pahit: hampir selalu induknya mati, entah karena kebakaran hutan atau diburu. Jadi kalau ada bayi orangutan nyasar ke manusia, itu bukan kebetulan---itu pertanda ada tragedi besar di belakangnya.
Populasi orangutan Kalimantan sekarang tinggal sekitar 57 ribu ekor, padahal tahun 1970-an masih ada sekitar 288 ribu. Bayangin, 80% hilang dalam waktu kurang dari 50 tahun (orangutan.or.id). Dan laju deforestasi yang gila-gilaan bikin prediksi makin suram: kalau terus begini, lebih dari 26 ribu orangutan bakal kehilangan habitatnya sebelum 2032 (Leuser Conservation).
Bayi yang Selamat, Induk yang Hilang
Di Kalimantan, tim BOS Foundation pernah menyelamatkan dua bayi orangutan dari hutan terbakar. Bayinya kurus, lemah, masih bingung mencari ibunya. Tapi induknya sudah nggak ada. Bisa jadi terbakar, bisa jadi dibunuh karena dianggap hama.
(orangutan.or.id)
Kalau manusia bisa trauma seumur hidup kehilangan orang tua, apa bedanya dengan orangutan? Bedanya, kita bisa cerita dan curhat. Mereka? Hanya bisa memeluk erat relawan yang menolongnya, tanpa bisa menjelaskan rasa sakitnya.
Hutan: Dapur, Rumah, Sekolah, dan Supermarket Sekaligus
Buat orangutan, hutan itu bukan sekadar pohon. Di sana ada makanan, tempat tidur, tempat main, bahkan tempat belajar anak-anaknya. Kalau hutan hilang, mereka nggak cuma kehilangan rumah, tapi juga kehilangan semua hal penting dalam hidup.
Makanya, ketika hutan ditebang atau terbakar, orangutan sering turun ke kebun sawit atau ladang warga. Dari situlah konflik muncul: warga merasa dirugikan, orangutan dianggap hama, lalu diburu atau dipukul mundur. Padahal mereka hanya cari makan karena rumahnya sudah nggak ada.
Fakta yang Sering Kita Lupakan
Kawasan Konservasi Mawas seluas 309 ribu hektar dihuni sekitar 3.000 orangutan liar. Tapi tiap musim kering, ribuan hektar lahan terbakar, makin mempersempit ruang gerak mereka (orangutan.or.id).
Orangutan itu penyebar biji alami. Mereka makan buah, buang bijinya, dan dari situ tumbuh pohon baru. Artinya, mereka adalah "tukang tanam" gratisan yang menjaga regenerasi hutan.
Kalau orangutan punah, jangan heran kalau hutan juga makin susah tumbuh kembali. Efeknya? Kita kehilangan paru-paru dunia.
Belajar dari Panda di Tiongkok
Sekarang coba bandingkan dengan Tiongkok. Negara itu punya panda, dan mereka memperlakukan panda kayak selebriti nasional. Ada pusat riset khusus, program breeding internasional, bahkan ada istilah "panda diplomacy"---panda dikirim ke luar negeri sebagai simbol persahabatan antarnegara.
Mereka serius banget menjaga satu satwa endemik. Dan hasilnya, populasi panda mulai meningkat lagi, status konservasinya pun membaik.
Pertanyaannya: kenapa kita yang punya orangutan---primata besar yang cuma ada di Indonesia (Sumatera, Kalimantan) dan sebagian Malaysia---malah santai aja melihat populasinya turun drastis? Masa panda di Tiongkok lebih dilindungi ketimbang orangutan di negeri sendiri?
Jadi, Kita Bisa Apa?
Aku tahu, kita bukan pejabat, bukan aktivis. Tapi bukan berarti nggak bisa berbuat apa-apa. Mulai dari hal kecil aja:
Cek produk sawit: kalau ada label RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), itu tandanya lebih ramah lingkungan. Pilih yang begitu.
Dukung konservasi: kalau ada rezeki lebih, donasi ke lembaga yang kerja nyata kayak BOS Foundation atau WWF. Kalau belum bisa donasi, bantu sebarkan info mereka aja udah bagus.
Stop pelihara satwa liar: setiap bayi orangutan yang dijual berarti induknya mati. Jadi kalau masih ada yang bilang, "ih lucu, pengen pelihara," tolong sadarkan.
Gunakan sosial media buat hal baik: kita sering heboh soal gosip seleb, masa nggak bisa share berita soal satwa? Like, share, komen---biar algoritma ikut nyebarin.
Obrolin di tongkrongan: sesekali ganti topik dari bola atau politik ke "eh, tau nggak orangutan makin punah?"---biar makin banyak yang aware.
Penutup: Jangan Tunggu Jadi Cerita di Buku IPA
Kalau orangutan punah, kita bukan cuma kehilangan satu spesies. Kita kehilangan penjaga hutan, penyedia oksigen, bahkan bagian dari identitas Indonesia.
Aku nggak mau nanti anak-anak kita cuma bisa lihat orangutan di buku pelajaran IPA dengan catatan kecil: "Spesies ini sudah punah di alam liar."
Kita bisa pilih: diam sampai terlambat, atau mulai bersuara sekarang. Dan aku pilih bersuara---biar suara kecil ini bisa jadi bagian dari gelombang besar yang menyelamatkan mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI