Seorang anak kecil melangkah masuk ke sebuah museum masa depan. Ruangan itu sunyi, hanya ada suara langkah kakinya yang bergema di lantai marmer. Ia berhenti di depan sebuah kaca tebal.
Di balik kaca itu, bukan patung, bukan fosil, melainkan seekor orangutan yang masih bernapas. Matanya sayu, tubuhnya merapat ke sudut ruangan, seakan sedang menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Hidup, tapi tampak kehilangan jiwa.
Anak itu menatap lama, lalu bergumam lirih: "Apakah inikah satu-satunya cara mengenal satwa liar di masa depan? Apakah hutan benar-benar akan tinggal cerita, dan kita hanya bisa melihat mereka sebagai artefak yang dipamerkan?"
Realitas hari ini semakin mengaburkan batas antara satwa liar dan satwa tawanan. Orangutan yang seharusnya bergelantungan bebas di kanopi hutan tropis kini lebih sering terlihat duduk murung di kandang sempit kebun binatang. Gajah yang dulunya penjelajah hutan luas, kini berjalan di jalanan desa atau dijadikan tunggangan wisata. Harimau, sang raja rimba, justru lebih mudah ditemui di poster sirkus atau peliharaan ilegal ketimbang di belantara Sumatera.
Dalam lima dekade terakhir, populasi mereka menurun drastis. Data dari lembaga konservasi internasional menunjukkan bahwa jumlah orangutan Kalimantan dan Sumatera berkurang hingga lebih dari separuh sejak tahun 1970-an. Populasi gajah Sumatera menyusut lebih dari 70 persen dalam kurun waktu yang sama. Sementara harimau Sumatera, yang tersisa hanya sekitar beberapa ratus ekor, menjadikannya subspesies terakhir harimau Indonesia yang masih bertahan.
Ancaman utamanya jelas: deforestasi yang menggerus rumah mereka, perburuan untuk perdagangan ilegal, serta eksploitasi untuk hiburan manusia. Akibatnya, satwa karismatik yang seharusnya menjadi simbol kebebasan justru terperangkap dalam ruang-ruang buatan, diperlakukan sebagai tontonan, bukan makhluk liar.
Eksploitasi Sebagai Hiburan
Di tengah hiruk pikuk pariwisata modern, satwa liar sering kali dipaksa menjadi bintang panggung. Seekor orangutan yang seharusnya berayun bebas di rimba tropis, kini duduk lesu di kursi plastik sambil merangkul turis untuk foto selfie. Gajah yang semestinya mengembara ratusan kilometer setiap hari, justru diikat pada rantai besi, dipaksa menggendong wisatawan di atas punggungnya. Harimau, simbol kegagahan hutan Sumatra, dipajang layaknya patung hidup agar turis bisa memegang ekornya untuk berpose.
Semua ini dibungkus dalam narasi palsu: "ini bentuk cinta manusia pada satwa." Padahal, apa artinya cinta bila mereka harus kehilangan kebebasan? Apa artinya peduli jika "cinta" itu memenjarakan?
Ironinya, banyak yang pulang membawa foto penuh senyum, tanpa menyadari bahwa senyum itu lahir dari penderitaan. Di balik lensa kamera, satwa liar tak lagi liar. Mereka menjelma "artefak hidup" yang dipamerkan demi hiburan, seolah museum masa depan sudah benar-benar hadir hari ini.