Mohon tunggu...
Putra Dewangga
Putra Dewangga Mohon Tunggu... Content Writer di SURYA.co.id

Hanya seorang penulis di media online

Selanjutnya

Tutup

Nature

Museum Kehidupan yang Masih Bernapas, Saat Orangutan Dipamerkan Seperti Artefak

15 September 2025   15:48 Diperbarui: 15 September 2025   15:48 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Museum Satwa (Sumber: Gemini AI)

Sebenarnya, kita tak perlu menunggu puluhan tahun untuk melihat satwa liar hanya di balik kaca. "Museum kehidupan" itu sudah ada sekarang. Bedanya, ia tidak berdiri di gedung megah berpendingin udara, melainkan dalam bentuk kebun binatang, sirkus, atau bahkan video viral yang beredar di YouTube.

Hutan-hutan yang dulu riuh oleh suara burung, lengkingan gajah, atau teriakan orangutan kini makin sunyi. Pohon masih berdiri, tetapi penghuninya lenyap. Yang tersisa justru kandang-kandang sempit tempat satwa dikurung, dipertontonkan, dan dijadikan bahan hiburan.

Generasi anak-anak kita lebih akrab dengan gajah yang menari di arena sirkus daripada gajah liar yang menapaki hutan. Mereka lebih mengenal orangutan dari video lucu yang dijadikan bahan konten ketimbang dari rimba Kalimantan. Harimau lebih sering muncul di iklan minuman energi atau game daring, bukan sebagai raja hutan yang sesungguhnya.

Kita sudah hidup dalam zaman ketika satwa karismatik lebih nyata sebagai tontonan ketimbang sebagai bagian dari ekosistem. Museum masa depan itu ternyata sudah hadir, dan kita sedang jadi pengunjung tetapnya.

Pernahkah kita menatap mata seekor orangutan di balik kaca? Ada keheningan yang menusuk. Tatapan itu bukan lagi liar dan penuh rasa ingin tahu, melainkan kosong, seperti lembar buku yang kehilangan kata.

Loreng harimau yang dulu gagah kini tampak pudar di balik kurungan sempit. Ia berjalan mondar-mandir, bukan untuk berburu atau menjaga wilayahnya, melainkan sekadar mengisi waktu di ruang yang hanya seukuran panggung.

Krisis konservasi bukan hanya deret angka populasi yang menurun di laporan ilmiah. Krisis itu juga berarti hilangnya martabat satwa sebagai makhluk liar, sebagai roh hutan, bukan artefak hiburan.

Saat kita kehilangan martabat mereka, sebenarnya kita juga sedang kehilangan cermin kemanusiaan kita sendiri.

Bayangkan jika suatu hari nanti anak cucu kita bertanya, "Seperti apa suara orangutan di hutan?" Lalu kita hanya bisa menunjuk rekaman video atau patung lilin di museum. Bayangkan jika generasi mendatang ingin tahu bagaimana gajah berlari di padang luas, tetapi yang mereka lihat hanyalah kerangka yang dipajang di balik kaca. Bayangkan jika harimau, simbol kekuatan dan keberanian, hanya tersisa sebagai logo di kaus atau maskot tim olahraga.

Itulah dunia yang sedang kita tuju jika kita memilih diam. Dunia di mana "museum kehidupan" menjadi satu-satunya tempat untuk mengenal satwa karismatik.

Padahal satwa liar bukan artefak. Mereka bukan sekadar koleksi untuk dipamerkan. Mereka adalah bagian penting dari ekosistem yang masih bernapas, penyeimbang rantai kehidupan yang juga menentukan keberlangsungan kita, manusia. Orangutan menjaga hutan hujan dengan menyebarkan biji. Gajah menciptakan jalur alami yang membuka ruang tumbuh bagi spesies lain. Harimau menjaga populasi mangsa agar tidak meledak dan merusak keseimbangan. Ketika mereka hilang, bukan hanya keindahan yang lenyap, tapi juga fungsi penting yang menopang kehidupan di muka bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun