Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... MedPsych Student at VUW New Zealand | LPDP Scholarship Awardee

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Gender Dysphoria, Memandang Perspektif Transgender Seutuhnya

10 November 2020   06:18 Diperbarui: 10 November 2020   06:27 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustration by Lolo Camille/trans.cafe

"When I was pushed to the brink of loneliness and gender agony as a third grader, when I didn't know how to communicate with the adults in my life about what was going on, I channeled my anger at my own body, my own existence. When the world made who I was feel impossible, I began to see my own body as an impossibility. For years of my life, I told myself this was normal. That kids just thought about killing themselves sometimes. That every third grader had experienced that. In order to move on with my life, I had to normalize it."
 Jacob Tobia

Hal yang dikatakan oleh Jacob Tobia ini barangkali pernah terjadi pada kamu atau barangkali orang disekitar kamu. Aku ingin mengajak kamu untuk membayangkan seperti ini, bayangkan saja kalau kamu adalah perempuan, kamu bangun tidur dan ke kamar mandi. 

Saat bercermin, kamu tiba-tiba melihat diri kamu kumisan atau tumbuh jakun di leher. Kamu melihat badan kamu yang awalnya ada payudara, eh tiba-tiba dadanya jadi bidang seperti dada laki-laki. Kamu menjadi tidak percaya atas semua hal yang terjadi, dan ketika kamu teriak, suara kamu malah terdengar berat seperti suara laki-laki. 

Nah, kalau kamu laki-laki coba deh kamu bayangkan saja kebalikannya. Ketika kamu bangun dari tidur nih, kamu rencana mau cukur kumis atau jenggot kamu, kumis dan jenggot itu udah gak ada, jakun kamu udah hilang,  ketika kamu lihat ke bawah kamu malah punya payudara, dan ketika kamu teriak, suara kamu jadi tinggi seperti suara perempuan. 

Nah, seperti itulah kira-kira ilustrasi perasaan ketika seseorang memiliki gender dysphoria. Kali ini aku akan menulis salah satu gangguan mental yang menurut aku cukup menarik. Menarik karena berbicara perihal gender.

Nah, karena pembahasanku kali ini berkaitan dengan gender banget nih, kita perlu menyamakan definisi terlebih dahulu tentang gender. Gender itu apa sih? Bedanya gender dengan jenis kelamin atau sex itu apa sih? 

Karena, banyak nih orang yang belum aware antara perbedaan gender dengan sex. Gender itu sebenarnya berbeda dengan sex atau jenis kelamin. Definisi ini aku kutip dari WHO atau World Helath Organization.

Pertama adalah sex, sex atau jenis kelamin itu adalah hal yang diberikan secara genetis kepada kita ketika kita lahir. Nah, seperti dulu ketika kita lahir, kan jelas tuh, kalau jenis kelamin itu ada dua, perempuan dan laki-laki. 

Sedangkan gender, itu mengacu pada peranan apa yang mau dilakukan oleh seseorang. Jadi, gender itu bergantung banget sama peranan sosial, nilai, dan norma. Dan bagaimana si orang itu ingin bertingkah laku sehari-harinya. 

Nah karena gender bergantung pada hal-hal tadi, maka peran gender di berbagai budaya itu bisa berubah-ubah. Jadi, ekspresi gender itu bisa berbeda-beda di tiap budaya. 

Contohnya di Jawa, kepala keluarganya adalah laki-laki, peranan kepala keluarga, kalau di Jawa itu diberikan kepada gender laki-laki. Sementara kalau di Padang, di Minangkabau misalnya, peranan tersebut diberikan ke perempuan. 

Jadi ekspresi gender itu bisa jadi berbeda-beda, karena ini bergantung pada bagaimana seseorang mempersepsikan gendernya masing-masing yang pada dasarnya berbeda-beda juga. 

Nah, dari sini kemudian muncul istilah yang barangkali kamu juga sudah sering kali dengar, yaitu transgender. Gender sysphoria ini berkaitan banget dengan peranan gender seperti ini. nah, lalu gender dysphoria itu apa?

Gender dysphoria itu mengacu pada konflik antar gender yang diberikan ketika orang tersebut lahir dan gender yang dirinya identifikasi. Ini biasanya sering dialami oleh orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang transgender. Menurut beberapa buku yang digunakan sebagai acuan untuk mendiagnosis gangguan mental, gender dysphoria masuk dalam salah satunya.

Gejala dari gender dysphoria itu ada beberapa macam. 

Pertama, adanya ketidaksesuaian antara gender yang diekspresikan atau dialami seseorang dengan karakteristik seks primer atau sekunder yang dimiliki orang tersebut. Dua, ada keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik seks primer atau sekunder. Tiga, Ada keinginan untuk memiliki karakteristik seks primer atau sekunder yang dimiliki oleh gender lain. Empat, ada keinginan kuat untuk menjadi gender lain. Lima, ada keingin kuat untuk diperlakukan seperti gender lain. Dan yang ke-enam adalah keyakinan bahwa seseorang memiliki perasaan dan reaksi tipikal yang dimiliki oleh gender lain.

Nah, yang perlu diingat bahwa diagnosis ini sendiri perlu dilakukan oleh profesional. Jangan sekali-kali melakukan self diagnosis atau mendiagnosa diri sendiri. Dan. Gejala ini pun perlu bertahan selama setidaknya enam bulan. Yang sebetulnya menjadi dampak dari gender dysphoria ini adalah bisa menyebabkan stres yang signifikan banget. 

Berdasarkan riset,  orang yang mengalami gender dysphoria ini cukup rentan untuk terkena gangguan mental. karena, berkorelasi juga dengan depresi dan bisa mengganggu kehidupan sehari-hari. 

Hal yang bisa menyebabkan gender dysphoria adalah seperti apa yang sudah aku jelaskan juga dalam beberapa tulisanku yang membahas mengenai gangguan mental, sulit sekali menemukan penyebab yang saklek dan hingga sekarang pun, masih banyak perdebatan mengenai penyebab persis gender dysphoria ini. dulunya, peneliti mengira bahwa gender dysphoria adalah kondisi psikiatrik yang berasal dari pikiran, dari kognisi. 

Tapi penelitian terbaru itu mulai menunjukka bukti-bukti baru bahwa penyebabnya itu lebih ke sebab biologis. Tapi ya tentu saja, masih terjadi perdebatan di dalamnya.

 Hal yang bisa dilakukan, terkadang orang ada yanng terpikirkan, daripada membuat stres mengapa tidak transisi saja alias mengubah jenis keaminnya. Tapi kembali lagi, tidak bisa semudah itu bagi seseorang gender dysphoria untuk melakukan transisi. 

Di Indonesia sendiri itu memang tidak melarang perubahan jenis kelamin di KTP atau di surat-surat lainnya selama atas pendampingan dari psikiater. Tapi perlu ditekankan lagi bahwa memang ada hal lain yang perlu dipertimbangkan. 

Pertama, adalah masyarakat. Masyarakat saat ini bisa dikatakan masih awam sekali perihal hal seperti ini dan memiliki banyak stigma juga soal keberadaan dari transgender ini. Waria saja yang eksistensinya sudah lama ada di Indonesia, kerap diberikan stigma dan stereotip tertentu. 

Salah satunya adalah sebagai pekerja seks komersial. Meskipun, padahal kan belum tentu. Nah, tekanan dan stigma dari masyarakat ini kemungkinan besar akan membuat dilema yang cukup besar bagi orang yang mengalami gender dysphoria. 

Kedua, keluarga. Ada kemungkinan bahwa keluarganya akan menolak dan mengucilkan orang tersebut. dan yang baru kita bicarakan ini adalah baru dampak sosial,belum lagi masalah lain. 

Seperti halnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk melakukan operasi. Yang pasti, kalau sampai gender dysphoria ini mengganggu, terapi individual itu akan membantu mereka banget. Akan membantu orang-orang dengan gender dysphoria untuk menemukan solusi yang tepat bagi mereka. Karena, beda-beda nih orang-orang dengan kebutuhannya.

Ada yang ingin, misalnya nih ya ingin menggunakan pakaian sesuai dengan gender yang ia identifikasi misalnya menggunakan pakaian yang lebih maskulin atau pakaian yang lebih feminim. Ada juga yang samapai menggunakan terapi hormon, hingga menjalani pergantian kelamin.

Jadi sebenarnya solusinya banyak banget dan kita sendiri belum mengetahui apa yang tepat untuk ornag-orang ini dan pastinya beda-beda buat orang-orangnya.

Terus kita harus ngapain kalau misalnya ada teman atau orang terdekat kita yang mengalami gender dysphoria? Nah karena masalahnya cukup kompleks, ditambah lagi dengan nilai dan norma yang dianut oleh seseorang yang berbeda-beda . Bisa dikatakan bahwa masalah ini cukup sulit untuk dilakukan secara langsung dan cepat. 

Pada akhirnya, bila ada teman atau keluarga yang mengaku sebagai seorang transgender, hal yang bisa kita lakukan adalah dengan tidak menambah lagi konflik yang terjadi di dalam diri mereka. 

Pada akhirnya, yang mungkin bisa kita lakukan adalah coba dengarkan saja ketika ada teman kamu yang curhat mengenai hal itu. Karena seperti yang sudah aku katakan di awal, orang dengan gender dysphoria itu rentan sekali untuk terkena gangguan mental yang lain. 

Dan ketika teman kamu sudah bercerita bahwa hal ini itu benar-benar menggangu dia banget, kamu bisa menyarankan ke dia untuk pergi konseling atau ke tenaga profesional.

Itu dia sedikit pembahasan dariku mengenai gender dysphoria. Dengan mengetahui hal ini nantinya diharapkan kita bisa berpikir dengan perpektif orang yang mengalami gender dysphoria sebelum kemudian memberikan stigma atau stereotip negatif atas mereka. 

Tentu saja selain mereka, kita selalu harus menjaga kesehatan mental kita dan orang-orang disekitar kita karena memang kesehatan mental itu suatu hal yang penting sekali untuk dijaga.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun