Dengan adanya "Family Office Indonesia", para investor bisa punya "satu pintu" khusus untuk mengatur aset dan berinvestasi tanpa ribet.
Luhut bahkan menyinggung bahwa negara seperti Singapura dan Uni Emirat Arab sudah sukses besar karena memfasilitasi para konglomerat global lewat sistem family office.
Tujuannya, menurutnya, bukan untuk kepentingan pribadi, tapi agar Indonesia jadi magnet investasi elit dunia.
Kedengarannya canggih. Tapi publik tidak bodoh.
Versi Purbaya: Jangan Campur Urusan Negara dan Keluarga
Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, punya pandangan berbeda.
Ia menilai konsep itu berisiko tinggi jika diterapkan tanpa kejelasan fungsi dan batas.
Menurutnya, jangan sampai family office dipakai untuk melegitimasi praktik pengelolaan kekayaan pribadi pejabat lewat struktur negara.
"Jangan sampai kita mencampuradukkan urusan publik dengan urusan pribadi, apalagi yang menyangkut aset besar," kata Purbaya.
Kalimat ini sederhana tapi memukul keras. Karena sejarah Indonesia sudah terlalu sering mencatat kasus di mana batas antara jabatan dan harta nyaris hilang.
Family Office = Celah Baru Oligarki?
Kekhawatiran publik bukan tanpa dasar.
Dalam sistem politik-ekonomi yang masih dikuasai segelintir elite, istilah baru seperti family office sering hanya jadi kemasan modern untuk praktik lama: akumulasi kekayaan di tangan kelompok tertentu.
Ketika pejabat publik bicara tentang "menarik investasi keluarga kaya dunia", publik bertanya: