Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Family Office Ki Opooo!?: Antara Kekuasaan, Kekayaan, dan Kebingungan Publik

15 Oktober 2025   12:00 Diperbarui: 15 Oktober 2025   12:48 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi family office - Kreasi AI

Kalau konsep ini serius, kenapa tidak dipresentasikan ke publik?
Kenapa tidak dijelaskan siapa saja yang akan diuntungkan dan bagaimana mekanisme pengawasannya?

Diksi "Family" yang Sensitif

Istilah family di negeri yang sering mencampur keluarga dan jabatan jelas problematik.
Ketika masyarakat mendengar "kantor keluarga", asosiasinya bukan pada lembaga keuangan modern, tapi pada dinasti kekuasaan.

Di tengah isu nepotisme dan politik keluarga yang makin kuat, istilah ini seperti menampar logika publik.
Mau mengundang investasi atau malah menegaskan bahwa ekonomi nasional dikuasai segelintir keluarga saja?

Publik Tidak Anti-Investasi, Tapi Anti-Sembunyi-sembunyi

Mari jujur: rakyat tidak menolak investor.
Yang ditolak adalah model kebijakan yang dibahas di ruang tertutup, dikontrol elite, dan diumumkan seolah untuk kepentingan nasional.

Kita sudah punya terlalu banyak contoh --- mulai dari proyek tambang, jalan tol, sampai energi --- di mana keuntungan besar dinikmati oleh lingkaran sempit kekuasaan.
Ketika sekarang muncul istilah "family office" tanpa penjelasan rinci, wajar kalau publik sinis.

Karena sejarah mengajarkan: setiap kali pejabat bicara tentang "kemudahan investasi", selalu ada pihak yang dirugikan --- biasanya rakyat kecil.

Bahaya Manipulasi Narasi

Yang menarik, perdebatan Luhut vs Purbaya justru membuka hal penting:
pejabat publik kini tidak lagi satu suara.
Ada yang masih berpikir dengan logika pertumbuhan ekonomi semu (asal ada investasi, dianggap berhasil),
ada yang mulai sadar bahwa kepercayaan publik jauh lebih berharga.

Namun sayangnya, media sosial justru menyoroti "siapa melawan siapa", bukan "apa substansinya".
Padahal yang harus diperdebatkan bukan tokohnya, tapi sistemnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun