Dalam negara demokrasi, suara pejabat publik bukan sekadar pantulan gagasan, melainkan representasi negara di hadapan rakyat. Setiap kata yang mereka ucapkan akan ditangkap, ditafsirkan, dan disebarkan ke ruang publik dalam hitungan detik. Itulah mengapa kualitas komunikasi pejabat menjadi penentu arah kepercayaan masyarakat.
Belakangan ini, publik kembali diguncang oleh kontroversi ucapan pejabat. Salah satunya adalah pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar mengenai profesi guru. Dalam sebuah forum, ia menyebut: "Banggalah menjadi seorang guru, jangan minder. Menjadi guru itu mulia sekali, halalan thoyyiban. Rezekinya Insyaallah, makanya jangan ikut-ikutan kayak pedagang yang memang tujuannya mencari uang. Kalau niatnya cari uang, jangan jadi guru, tapi jadi pedagang," kata seperti dikutip dari video yang diunggah akun YouTube @pendischannel yang merupakan channel resmi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.Â
Pernyataan itu kemudian menuai kritik keras karena dianggap merendahkan martabat guru. Tak lama berselang, Nasaruddin pun meminta maaf, seraya menegaskan bahwa guru adalah profesi yang sangat mulia dan menekankan upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan serta kompetensi guru melalui berbagai program seperti peningkatan tunjangan dan pelatihan profesi (PPG) bagi guru madrasahÂ
Di saat bersamaan, masyarakat juga menanti respons pemerintah dan DPR terkait 17+8 Tuntutan Rakyat yang sudah digaungkan sejak 17 Agustus 2025. Tuntutan ini berisi 25 poin: 17 poin jangka pendek yang harus dijawab sebelum 5 September 2025, dan 8 poin jangka panjang yang ditargetkan sebelum 31 Agustus 2026. Beberapa tuntutan di antaranya mencakup transparansi APBN, percepatan penyelesaian kasus hukum, peningkatan kualitas pendidikan, serta penegakan keadilan sosial.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: sejauh mana sebenarnya pejabat kita menguasai keterampilan komunikasi publik?
Komunikasi Publik: Pilar Kepercayaan dalam Demokrasi
Di tengah derasnya arus informasi, setiap ucapan pejabat publik adalah instrumen politik yang lebih kuat daripada selembar dokumen kebijakan. Rakyat menilai keseriusan dan kejujuran pemerintah bukan hanya dari isi program, melainkan juga dari cara ia disampaikan.
Sejarah membuktikan, banyak pemimpin dunia diingat bukan hanya karena kebijakan mereka, tetapi juga karena kemampuan retorika yang memikat. John F. Kennedy, Barack Obama, hingga Nelson Mandela dikenang sebagai pemimpin besar karena mampu mengikat emosi rakyat lewat kata-kata. Sebaliknya, pejabat yang gagal menjaga ucapannya kerap tersandung masalah, bahkan ketika kebijakan yang dibuat sebenarnya baik.
Di Indonesia, kita masih sering melihat pejabat yang berbicara tanpa persiapan matang. Kalimat yang dilontarkan terkesan spontan, tidak sensitif, atau bahkan menyinggung kelompok tertentu. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya mendapat dukungan publik justru berhadapan dengan resistensi.
Mengapa Public Speaking Pejabat Lemah?
Ada sejumlah alasan mengapa kemampuan komunikasi pejabat di Indonesia masih mengkhawatirkan: