Eliza menyukai cara sinar rembulan yang menerobos jendela-jendela tinggi di rumah batu cokelat mereka di Brooklyn, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang menari di dinding. Liam, suaminya selama lima tahun, sering menggodanya tentang sifatnya yang romantis, tetapi bahkan ia harus mengakui ada keajaiban tersendiri di rumah mereka pada malam-malam yang sunyi seperti ini. Rumah itu adalah cerminan dari sejarah bersama mereka, sebuah bukti cinta mereka, setidaknya begitulah yang ia pikirkan. Namun, malam ini, bayangan-bayangan itu terasa berbeda… mengancam. Di keheningan malam kita, bayang-bayang menari dan bermain, janji terjalin erat, lalu begitu mudah terkikis.
"Eliza, apa kau mendengarkanku?" suara Liam memecah keheningan. Ia berdiri di dekat perapian, segelas whiskey setengah kosong di tangannya, dahinya berkerut. Cahaya api melemparkan rona oranye ke wajahnya, menyoroti garis-garis stres yang mulai terukir di sekitar matanya.
"Maaf, Liam," kata Eliza, kembali ke kesadarannya. Ia tadi melamun, menatap keluar jendela, tenggelam dalam pikirannya. "Aku hanya… sedang berpikir."
"Tentang apa?" tanyanya, nadanya tajam.
"Tentang kita," jawabnya, suaranya nyaris berbisik. "Tentang bagaimana keadaan kita belakangan ini."
Liam menghela napas, mengusap rambutnya yang sudah acak-acakan. "Jangan mulai lagi, Eliza. Kita sudah membicarakan ini. Aku hanya sibuk di kantor. Itu saja."
"Sibuk?" Eliza mendengus, tawa pahit lolos dari bibirnya. "Itukah sebutan kita sekarang? 'Sibuk'?"
"Apa maksudmu dengan itu?" suara Liam meninggi dan gaung kata-katanya bergema dalam keheningan malam.
"Jangan pura-pura bodoh, Liam. Aku tidak bodoh." Eliza berdiri dan melangkah mendekat padanya, ruang di antara mereka kini dipenuhi ketegangan yang nyata. "Aku sudah melihat emailnya, pesannya, malam-malam larut yang kau bilang untuk bekerja padahal mobilmu tidak ada di garasi parkir."
Wajah Liam sedikit memucat, tapi ia cepat pulih. "Kau menggeledah ponselku?" tuduhnya, suaranya dipenuhi amarah.