Clara mencurahkan seluruh hatinya untuk The Daily Grind, kedai kopi mungil yang ia bangun di tengah kota. Bagi Clara, itu bukan sekadar bisnis, melainkan rumah keduanya—wujud nyata dari mimpi yang ia perjuangkan. Ia hafal setiap nama pelanggan, ingat tiap pesanan di luar kepala, dan bangga akan komunitas hangat yang tumbuh di sana.
Namun, kehangatan kedai kopi itu tak mampu mengusir rasa dingin yang diam-diam bersarang di hatinya setiap kali menatap kekasihnya, Arthur Harding. Hubungan mereka, yang dulu terasa menjanjikan, kini serasa sangkar emas yang menyesakkan.
“Latte lagi, Tuan Harding?” tanya Clara sambil memainkan jemarinya di mesin espresso. Aroma biji kopi yang baru digiling memenuhi udara.
Arthur, pelanggan setia, tersenyum ramah. “Kau terlalu hafal kebiasaan saya, Clara. Dan tolong, panggil saja aku Arthur.”
Pipi Clara memanas, jantungnya berdebar tak beraturan. Arthur Harding memang menawan—tinggi, bermata teduh, dengan senyum yang mampu melelehkan es. Selama yang ia tahu, Arthur masih lajang, dan sudah berbulan-bulan jadi pengunjung tetap kedainya.
“Satu latte segera datang, Arthur,” balas Clara sambil kembali fokus ke mesin kopi.
Namun di balik senyum dan aroma kopi yang menenangkan, ada sesuatu yang Clara sembunyikan. Di balik cinta mereka, merayap sebuah rahasia: sebuah kebohongan yang berbisik, tumbuh, dan perlahan melangkah masuk. Itulah saat ia bertemu dengan Julian.
Arthur bukannya tidak berusaha menjaga hubungan mereka, hanya saja Julian… lebih pandai membujuk. Perlahan-lahan, kehadiran Arthur di The Daily Grind makin jarang. Clara merasakan perubahan itu—penarikan diri yang halus namun jelas, menimbulkan rasa tak nyaman yang tak bisa ia abaikan. Ia tidak merasa bersalah karena kehilangan cinta untuk Arthur, tapi dalam hatinya ia tahu: ia sedang memanfaatkannya.
Suatu hari, Arthur datang dengan wajah kusut. Jasnya tak lagi rapi, rambutnya berantakan. “Clara, kita perlu bicara,” ucapnya dengan suara tegang.
Jantung Clara mencelos. Ia tahu apa yang akan terjadi. “Tentu, Arthur. Ada apa?”