Seperti biasa.
Aku menatap hujan yang akhirnya turun. Rintiknya mengetuk jendela, menciptakan simfoni yang hanya bisa didengar hati yang sepi. Aroma tanah basah masuk bersama kenangan yang enggan kuhalau.
Aku ingat malam hujan terakhir kita. Kau datang basah kuyup, membawa payung yang patah tulang rusuknya. Kau tertawa sambil berkata, “Payung ini sudah sekarat, tapi aku tetap maksa memakainya.” Aku menimpali, “Sama sepertiku. Sudah rapuh, tapi tetap memaksakan diri untuk menunggumu.”
Kau terdiam waktu itu. Lama.
Dan sejak malam itu, aku tak pernah melihatmu lagi.
Aku tahu sebenarnya, penantian ini tidak sehat.
Tapi bagaimana aku bisa pergi, jika hanya di sini aku merasa dekat denganmu?
Kedai ini adalah saksi bisu dari semua yang pernah kita bagi. Setiap sudutnya menyimpan serpihan cerita. Kursi di hadapanku masih hangat oleh ingatan tubuhmu, meski kenyataannya dingin oleh waktu.
Meninggalkan tempat ini sama saja dengan membunuh harapan terakhir yang masih kupeluk. Dan aku belum siap.
Pelayan menghampiri.
“Mas, kedainya sebentar lagi tutup,” katanya pelan, seolah takut mengusir seseorang yang sedang berduka.
Aku hanya mengangguk.
Tapi aku tidak beranjak.
Ia kemudian meninggalkan meja dengan wajah ragu, mungkin menganggapku orang aneh. Biarlah. Aku lebih rela dianggap aneh daripada kehilangan kesempatan jika tiba-tiba kau datang.
Jarum jam hampir mencapai sepuluh.
Aku menatap kursi itu sekali lagi. Kosongnya begitu menusuk.