Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

The Whole-Brain Child: Mendidik Anak Lewat Ilmu Otak

23 Agustus 2025   09:30 Diperbarui: 22 Agustus 2025   16:06 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cover buku-readingraphics

 

Banyak orang tua mendidik anak dengan insting, tradisi keluarga, atau sekadar meniru pola asuh zaman dulu. "Dulu saya dididik keras, jadi anak saya juga harus kuat." Atau sebaliknya, ada orang tua yang karena trauma masa kecil memilih terlalu lembut dan permisif. Padahal, anak zaman sekarang tumbuh di era yang sangat berbeda. Pola pikir, stimulasi digital, hingga tekanan sosialnya nggak sama dengan dulu. Nah, di sinilah buku The Whole-Brain Child karya Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson masuk sebagai panduan unik.

Buku ini nggak sekadar bicara soal disiplin atau kasih sayang, tapi membawa kita masuk ke dunia neuroscience: bagaimana otak anak bekerja, berkembang, dan bereaksi terhadap pengalaman sehari-hari. Parenting jadi bukan cuma soal aturan, tapi soal memahami "mesin pengendali" anak, yaitu otaknya sendiri.

Parenting dengan Ilmu Otak

Siegel, seorang psikiater anak, bersama Bryson, pakar parenting, mengajukan ide sederhana tapi revolusioner: kalau kita ingin anak tumbuh sehat secara emosional, kita harus tahu cara otak mereka berkembang. Otak bukan benda statis, melainkan organ yang terus berubah dan membentuk koneksi berdasarkan pengalaman.

Anak yang tantrum, misalnya, sering dianggap nakal atau manja. Tapi sebenarnya, ketika anak marah dan berteriak, bagian otak logika mereka belum aktif. Yang bekerja adalah bagian otak emosi. Jadi, membentak anak yang tantrum sebenarnya sama saja seperti menyiram api dengan bensin: makin besar.

Dari sini, orang tua diajak untuk lebih sabar, bukan dengan alasan moral semata, tapi karena secara biologis memang otak anak belum siap untuk "tenang". Beda dengan orang dewasa yang bisa menahan diri (meski sering juga gagal).

Konsep Otak Kiri dan Otak Kanan

Salah satu konsep utama dalam buku ini adalah membangun keseimbangan antara otak kiri (logis, analitis) dan otak kanan (emosional, kreatif). Anak kecil cenderung didominasi otak kanan. Itu sebabnya mereka lebih ekspresif, gampang tertawa, gampang nangis, dan kadang dramatis.

Tugas orang tua bukan mematikan sisi emosional itu, tapi membantu menyeimbangkannya dengan logika. Misalnya, ketika anak jatuh dan menangis, jangan langsung berkata "Ah, itu nggak sakit kok!" Itu mengabaikan emosinya. Sebaliknya, validasi dulu dengan otak kanan: "Aduh, sakit ya? Mama tahu itu bikin kaget." Setelah anak merasa dipahami, baru ajak pakai otak kiri: "Sekarang coba kita lihat, lecetnya kecil kok, kita bisa bersihkan."

Dengan cara ini, anak belajar bahwa emosinya valid, tapi juga belajar berpikir rasional setelahnya.

Otak Atas dan Otak Bawah

Selain kiri-kanan, buku ini juga menjelaskan otak atas (prefrontal cortex, pusat logika, perencanaan, kontrol diri) dan otak bawah (emosi dasar, insting bertahan hidup). Anak-anak kecil lebih sering dikendalikan otak bawah. Itu sebabnya mereka sulit menahan diri, gampang meledak, atau bertindak impulsif.

Tugas parenting di sini adalah "melatih otot" otak atas. Caranya? Bukan dengan hukuman yang membuat anak takut, melainkan dengan latihan pengendalian diri. Contohnya, kalau anak marah karena nggak boleh main gadget, ajak dia tarik napas dalam atau alihkan dengan aktivitas lain. Otak atas butuh pengalaman berulang untuk menjadi kuat.

Analogi sederhananya: orang tua bukan sekadar polisi lalu lintas yang meniup peluit ketika anak melanggar aturan, tapi pelatih yang membantu anak mengembangkan keterampilan mengendalikan dirinya sendiri.

Strategi Praktis dari Buku

Keunggulan The Whole-Brain Child adalah memberi strategi praktis yang bisa langsung dicoba di rumah. Beberapa di antaranya:

"Name it to tame it" ketika anak ketakutan atau marah, bantu dia menamai emosinya. "Kamu kelihatan sedih ya karena mainannya rusak?" Dengan memberi nama, otak kiri mulai aktif, emosi jadi lebih terkontrol.

"Engage, don't enrage" saat anak meledak, jangan ikut terbakar. Tetap tenang, jangan pakai bentakan. Kalau kita ikut marah, otak bawah kita juga yang ambil alih.

"Move it or lose it" gerakan fisik bisa membantu mengatur emosi. Ajak anak jalan, lompat, atau menari ketika emosinya buntu.

"Use the remote of the mind" bantu anak mengingat pengalaman dengan imajinasi seolah-olah mereka bisa memutar ulang atau mempercepat adegan. Ini melatih kontrol memori dan emosi.

Strategi-strategi ini sederhana, tapi punya dasar kuat dalam neuroscience.

Kenapa Buku Ini Unik?

Mayoritas buku parenting bicara soal "cara mendidik yang baik": disiplin, kasih sayang, aturan. Tapi jarang ada yang benar-benar menjelaskan kenapa anak berperilaku begitu, dan bagaimana otak mereka bekerja di balik layar. The Whole-Brain Child mengisi celah ini.

Uniknya lagi, buku ini bukan sekadar teori. Setiap bab memberi contoh nyata, bahasa sederhana, bahkan ilustrasi komik yang bisa dibaca anak dan orang tua bersama. Jadi bukan cuma bacaan orang tua akademis, tapi juga bisa jadi bahan ngobrol bareng anak.

Kritik dan Keterbatasan

Meski revolusioner, buku ini bukan tanpa catatan. Beberapa pembaca merasa pendekatannya terlalu "sabar" dan bisa bikin orang tua jadi over-empati hingga anak kurang disiplin. Ada juga yang bilang terlalu teoretis karena nggak semua orang tua punya waktu atau kesabaran menerapkan strategi ini di tengah kesibukan.

Namun, inti buku ini bukan soal memanjakan anak, melainkan memahami cara kerja otak mereka. Dari sana, orang tua bisa lebih bijak memilih reaksi. Disiplin tetap penting, tapi harus dijalankan dengan pemahaman, bukan sekadar hukuman.

Relevansi untuk Orang Tua di Indonesia

Di Indonesia, pola asuh tradisional masih kuat: "anak harus patuh, anak nggak boleh melawan orang tua." Padahal, dalam jangka panjang, anak yang tidak diajari mengenali emosinya bisa tumbuh jadi orang dewasa yang rapuh secara mental.

Buku ini bisa jadi jembatan untuk mengubah mindset. Misalnya, alih-alih langsung marah saat anak melawan, orang tua bisa melihat itu sebagai kesempatan melatih otak atas anak: mengajarkan cara menyampaikan pendapat dengan tenang.

Di era ketika isu kesehatan mental makin penting, buku ini terasa relevan. Kita nggak bisa lagi hanya bicara soal nilai rapor atau prestasi akademik. Keseimbangan emosi dan logika sama pentingnya untuk membentuk generasi yang tangguh.

Penutup

The Whole-Brain Child mengajak kita berhenti melihat anak sebagai "miniatur orang dewasa" yang harus segera bisa tenang, patuh, dan logis. Anak adalah manusia yang otaknya masih berkembang, dan tugas orang tua adalah menjadi arsitek pembangunan otak itu.

Dengan memahami cara kerja otak kiri-kanan, otak atas-bawah, serta strategi sederhana seperti memberi nama pada emosi atau mengajak bergerak, kita bisa membantu anak tumbuh jadi pribadi yang bukan hanya pintar, tapi juga sehat secara emosional.

Karena pada akhirnya, tujuan parenting bukan sekadar punya anak yang patuh, tapi anak yang bisa mengendalikan dirinya, memahami emosinya, dan siap menghadapi dunia dengan otak yang utuh.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun