Â
Pernah kepikiran nggak kalau ternyata ada puluhan negara di dunia yang santai aja hidup tanpa tentara, tanpa seragam hijau loreng, tanpa parade alutsista miliaran dolar, dan... mereka baik-baik saja? Sementara di sini, anggaran pertahanan tiap tahun bengkak, tapi rakyat masih sering disuruh "bertahan" dengan harga beras naik. Jadi sebenernya, tentara itu kebutuhan mutlak, simbol gagah-gagahan, atau justru proyek abadi yang nggak ada habisnya?
Saat mendengar kata "negara", kebanyakan dari kita langsung membayangkan adanya militer yang siap menjaga kedaulatan, menjaga perbatasan, hingga menegakkan wibawa negara. Namun faktanya, di dunia ini ada 36 negara yang tidak memiliki angkatan bersenjata permanen. Tanpa tentara, mereka tetap hidup, berdaulat, bahkan dalam beberapa kasus bisa lebih maju secara ekonomi. Lantas, bagaimana mereka bisa bertahan? Apakah militer memang tidak sepenting yang sering dibayangkan?
Mari kita telusuri lebih jauh.
Negara Tanpa Militer: Siapa Saja Mereka?
Beberapa contoh paling terkenal adalah Islandia, Kosta Rika, dan Liechtenstein. Islandia misalnya, meski bergabung dengan NATO, tidak punya tentara tetap. Keamanan mereka banyak bergantung pada perjanjian pertahanan kolektif dengan negara-negara anggota NATO lain, terutama Amerika Serikat.
Kosta Rika bahkan lebih unik. Negara di Amerika Tengah ini secara resmi menghapus militernya sejak 1949. Anggaran yang biasanya dialokasikan untuk militer kemudian dipindahkan ke sektor pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Alhasil, Kosta Rika kini dikenal sebagai salah satu negara dengan kualitas hidup terbaik di Amerika Latin.
Liechtenstein yang mungil di Eropa memutuskan menghapus militer sejak 1868 karena alasan biaya. Untuk sebuah negara kecil, membiayai tentara dianggap tidak efisien. Sebagai gantinya, mereka mengandalkan hubungan diplomatik dan kerja sama dengan tetangga seperti Swiss dan Austria.
Selain itu ada juga negara-negara kecil di Pasifik seperti Tuvalu, Samoa, dan Kiribati, serta negara-negara kaya di kawasan Karibia seperti Dominika dan Saint Lucia. Mayoritas adalah negara kecil, baik secara wilayah maupun populasi, yang tidak punya ancaman besar dari luar.
Bagaimana Mereka Bisa Bertahan Tanpa Tentara?
Ada beberapa pola menarik yang bisa dilihat.
Pertama, faktor aliansi internasional. Islandia menjadi contoh klasik: mereka tidak punya tentara, tapi anggota NATO. Artinya, serangan ke Islandia akan dianggap serangan terhadap seluruh aliansi. Dengan kata lain, perlindungan mereka adalah solidaritas internasional.
Kedua, letak geografis. Negara-negara pulau kecil di Pasifik relatif aman karena jauh dari konflik besar. Untuk apa punya tank dan jet tempur kalau ancaman invasi hampir mustahil? Ancaman terbesar mereka justru perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut.
Ketiga, strategi ekonomi dan diplomasi. Kosta Rika memilih jadi negara yang fokus pada ekowisata dan lingkungan. Dengan reputasi sebagai negara damai, mereka justru menarik investasi dan wisatawan. Liechtenstein fokus jadi pusat keuangan. Dengan ekonomi stabil dan diplomasi kuat, ancaman perang terasa jauh.
Keempat, kehadiran negara besar di sekitar. Beberapa negara kecil mengandalkan "payung" negara tetangga. Contohnya Monako yang perlindungannya dijamin oleh Prancis. Atau Andorra yang keamanan dijaga bersama Spanyol dan Prancis.
Jadi, kunci mereka bertahan bukan karena militer sama sekali tidak penting, tapi karena mereka menemukan alternatif strategi keamanan yang lebih murah dan sesuai kondisi mereka.
Apa Artinya Buat Indonesia?
Nah, kalau kita bandingkan dengan Indonesia, apakah mungkin kita hidup tanpa militer besar?
Indonesia jelas berbeda konteks. Pertama, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan posisi strategis di jalur perdagangan internasional. Selat Malaka, Laut Natuna, sampai jalur timur adalah kawasan vital yang penuh potensi konflik. Tanpa militer, bagaimana mengamankan itu semua?
Kedua, sejarah panjang Indonesia menunjukkan ancaman nyata. Dari agresi kolonial, pemberontakan internal, separatisme, hingga terorisme. Kondisi itu berbeda jauh dengan Kosta Rika yang relatif aman dari ancaman eksternal.
Ketiga, posisi geopolitik Indonesia ada di tengah rivalitas negara besar, khususnya AS dan Tiongkok. Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan Indonesia jadi kawasan rawan konflik. Militer yang kuat menjadi salah satu cara menjaga bargaining power.
Namun, pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah ukuran militer Indonesia saat ini proporsional? Apakah anggaran pertahanan digunakan secara efektif?
Apakah Militer Indonesia Terlalu Besar?
Militer Indonesia memang salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, dengan ratusan ribu personel aktif. Anggaran pertahanan juga terus naik, bahkan masuk tiga besar dalam belanja negara. Tapi jika dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk, sebenarnya masih terbilang moderat.
Yang jadi masalah sering kali bukan soal besar atau kecil, melainkan soal efektivitas. Banyak alutsista (alat utama sistem senjata) yang sudah tua, belanja yang tidak transparan, dan proyek besar yang rawan korupsi. Sementara itu, kebutuhan dasar rakyat di bidang kesehatan, pendidikan, dan pangan sering kali belum terpenuhi.
Pertanyaan tajamnya: apakah miliaran dolar untuk jet tempur baru lebih urgen dibandingkan memperbaiki gizi anak-anak atau mengurangi angka stunting?
Belajar dari Negara Tanpa Militer
Kita mungkin tidak bisa meniru mentah-mentah Kosta Rika atau Islandia. Namun, ada pelajaran penting: kekuatan sebuah negara tidak selalu ditentukan oleh jumlah tank atau pesawat tempur. Ada faktor lain yang bisa memperkuat kedaulatan: pendidikan yang maju, diplomasi yang aktif, ekonomi yang kokoh, dan masyarakat yang sejahtera.
Militer tetap penting, apalagi untuk negara sebesar Indonesia. Tapi jangan sampai militer menjadi satu-satunya simbol kekuatan. Justru ketika rakyat sehat, pintar, dan makmur, negara otomatis lebih sulit diganggu.
Dalam dunia yang makin kompleks, ancaman bukan hanya invasi militer. Perubahan iklim, pandemi, hingga serangan siber bisa melumpuhkan negara tanpa satu pun peluru ditembakkan. Inilah tantangan baru yang sering kali justru lebih berbahaya daripada perang konvensional.
Menuju Keseimbangan
Mungkin bukan soal punya atau tidak punya militer, tapi bagaimana menyeimbangkan. Indonesia butuh militer yang efektif, modern, dan bersih, tapi juga butuh investasi besar di bidang lain.
Bayangkan jika sebagian anggaran pertahanan bisa dialihkan untuk memperkuat riset teknologi, mengembangkan energi terbarukan, atau memperbaiki transportasi publik. Itu juga bagian dari pertahanan, karena negara yang maju ekonominya otomatis lebih kuat menghadapi ancaman.
Penutup
Negara tanpa militer menunjukkan kepada dunia bahwa ada banyak cara menjaga kedaulatan. Aliansi, diplomasi, dan pembangunan bisa jadi "senjata" yang lebih ampuh ketimbang tank dan rudal.
Namun, untuk negara sebesar dan sekompleks Indonesia, militer tetaplah kebutuhan. Pertanyaannya tinggal bagaimana agar militer tidak sekadar besar, tapi benar-benar efektif, transparan, dan selaras dengan kesejahteraan rakyat.
Karena pada akhirnya, pertahanan terkuat sebuah negara bukan hanya tentaranya, melainkan rakyatnya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI