Aku baru saja memarkir motor trail yang tampak kelelahan, mesinnya berdesis halus, panasnya seperti menyalin suhu siang yang membakar kulit. Debu masih melekat di rangka dan spatbor, bukti perjalanan panjang yang baru saja kutempuh. Aku melepas helm, membiarkan angin kering menampar wajahku, mencoba mendinginkan kepala yang sejak tadi seperti direbus. Dari jauh, ilalang kuning bergoyang pelan diterpa angin, seolah melambai, mengundangku untuk masuk lebih dalam.
Aku melangkah ke tengah padang ilalang itu. Panas siang menembus topi lusuh yang kupakai, menitikkan keringat dari ubun-ubun hingga membasahi pelipis. Nafasku berat, kakiku mulai goyah seperti tidak lagi menapak tanah. Aku tak peduli, terus berjalan, seperti ada magnet yang menarikku maju. Di tengah hamparan yang nyaris tanpa teduh itu, tiba-tiba mataku menangkap sesuatu—sebuah pohon besar yang berdiri sendiri, batangnya tebal, cabangnya menjulur lebar seolah merentangkan tangan untuk memeluk siapa pun yang datang.
Aku bergegas mendekat. Di bawah pohon itu, ada mata air kecil. Airnya memantulkan cahaya matahari yang menyelinap di sela daun, jernih seperti kaca yang baru dicuci hujan. Tanpa berpikir panjang, aku berlutut, menangkupkan kedua tangan, dan meneguknya rakus. Rasanya dingin, mengalir di tenggorokan, menampar kesadaranku seperti pesan singkat dari alam: “Kau selamat, untuk saat ini.” Aku membasuh wajah, membiarkan keringat, debu, dan lelah hanyut bersama air itu. Entah karena damai atau benar-benar kehabisan tenaga, aku akhirnya tertidur di pangkuan bayang-bayang pohon itu.
Ketika terbangun, matahari telah bergeser sedikit, dan di tepi mata air itu duduk seorang lelaki. Pakaiannya sederhana, celana longgar dan kemeja kusam yang warnanya nyaris menyatu dengan tanah. Wajahnya keriput, namun ada keteduhan di matanya. Ia tersenyum, seperti senyum orang yang sudah mengenalmu lama meski baru bertemu.
“Pemimpin itu seperti pohon ini,” ujarnya tanpa basa-basi. Suaranya tenang, tapi punya bobot yang sulit diabaikan. “Ia berdiri di tengah terik, menahan panas, agar yang lain bisa berteduh. Tak selalu bicara banyak, tapi kehadirannya menjaga.” Kata-katanya mengalir seperti air di depanku—ringkas, jernih, namun terasa menyegarkan sampai ke relung hati.
Aku masih terperangah. “Siapa kau?” tanyaku, suaraku serak seperti belum sepenuhnya bangun. Lelaki itu tersenyum tipis, matanya memandangi riak halus di mata air, seolah sedang membaca rahasia yang tak kasat mata. “Namaku Sadiman, hanya petani desa,” jawabnya pelan. Tapi di telingaku, kata “hanya” itu terdengar seperti tirai tipis yang menutupi sesuatu yang jauh lebih besar. Caranya bicara mantap, tanpa tergesa, membuatku yakin ini bukan orang biasa.
Aku menatapnya lekat, ingin membongkar siapa sebenarnya yang duduk di depanku ini. Ia memetik sehelai daun, meremasnya perlahan di telapak tangan. “Pemimpin sejati, Nak,” katanya sambil menatap daun itu, “tak perlu mengumumkan siapa dirinya. Ia memberi, tumbuh, dan pergi begitu saja—seperti pohon ini.” Ucapannya menancap di kepalaku, membuatku merasa kecil sekaligus tercerahkan.
Aku tergelak kecil, mencoba mencairkan suasana. “Lantas bagaimana dengan pemimpin yang banyak main media sosial, Mbah?” tanyaku, separuh bercanda. Ia mengernyit, lalu menyipitkan mata, seperti mencari makna dari kata-kata yang asing baginya. “Media sosial ki opo to, Le? Aku ra ngerti,” ujarnya sambil menggaruk kepala. “Sing penting…” ia menatapku lurus, kali ini suaranya berubah tegas, “pemimpin itu seperti yang diajarkan Raden Mas Soewardi. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Ia berhenti sebentar, memberi ruang agar kalimat itu meresap. “Di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan. Mau dia di panggung, di sawah, atau di dunia maya—prinsipnya sama. Pemimpin itu hadir untuk menguatkan, bukan untuk pamer.” Angin siang itu berhembus pelan, membawa aroma tanah basah, seolah mengamini kata-katanya.
Aku terdiam, mencerna setiap huruf yang baru saja kudengar. Lalu potongan ingatan menyeruak—aku pernah membaca tentang seorang lelaki tua yang menanam ribuan pohon di lereng Lawu seorang diri. Berita itu sudah lama, tapi wajahnya… sorot matanya… keriput di ujung bibirnya… semuanya sama persis dengan orang di depanku. Dadaku berdesir. “Mbah… jangan-jangan… Anda itu Mbah Sadiman, peraih Kalpataru?” tanyaku hati-hati.
Ia tertawa pelan, suaranya seperti desir angin di pucuk ilalang. “Wah, kok iso ngerti?” ujarnya, tetap merendah. Lalu, dengan nada seperti mendongeng, ia berkata, “Aku cuma menanam pohon di lereng Lawu yang tandus… sendirian… tanpa dibayar… selama dua puluh lima tahun. Wong, tanah itu perlu pohon, dan orang-orang perlu air.” Matanya menerawang jauh, seolah melihat kembali lereng gersang yang dulu ia garap. “Kalau kau ingin jadi pemimpin, Le, tanamlah kebaikan. Meski orang lain tak melihat, meski kau sendirian. Sebab kelak, yang memanen bukan hanya dirimu, tapi semua yang hidup di sekitarmu.”
Suara mata air di samping kami terdengar lebih merdu setelah itu, seperti ikut menceritakan kisah perjuangan panjang yang sunyi namun tak sia-sia. Aku duduk diam, membiarkan waktu berjalan tanpa memikirkan jarum jam. Dalam benakku, aku membayangkan lereng Lawu yang dulu tandus kini hijau kembali, bukan oleh proyek besar atau dana miliaran, tapi oleh ketekunan seorang lelaki yang mungkin tak pernah berfoto sambil memegang piala, namun memegang sesuatu yang jauh lebih berharga—kehidupan.
Saat matahari mulai condong, aku berdiri, menyalami tangannya. Jemarinya keras, berurat, penuh bekas luka kecil—tanda kerja yang tak pernah berhenti. “Terima kasih, Mbah,” ucapku tulus. Ia hanya tersenyum, seolah ucapan itu bukan untuknya, tapi untuk pohon-pohon yang telah ia tanam.
Aku melangkah meninggalkan pohon itu dengan langkah pelan. Bayangan Mbah Sadiman tetap tertanam di benakku, seperti akar yang menyusup ke dalam tanah, tak terlihat namun menguatkan. Di dunia yang semakin riuh oleh suara dan citra, ia memilih jalan sunyi—menanam tanpa tepuk tangan, bekerja tanpa sorotan. Dari tangannya, lereng tandus berubah menjadi hutan, dan dari hatinya, lahir pelajaran tentang kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu. Aku sadar, menjadi pemimpin bukanlah soal berdiri di puncak, melainkan mau berada di akar, menopang kehidupan tanpa pamrih. Dan mungkin, seperti mata air di bawah pohon itu, kebaikan sejati selalu mengalir diam-diam, tapi memberi hidup bagi siapa saja yang haus.
Aku kembali ke motor trailku, menyalakan mesin yang sudah agak dingin. Perlahan, aku memacu roda berdebu itu menyusuri jalan desa yang berkelok di antara persawahan, rumah-rumah kayu, dan anak-anak yang bermain di pinggir jalan sambil melambaikan tangan. Angin sore membawa aroma padi yang hampir panen, bercampur dengan sisa hawa sejuk dari mata air tadi. Aku tidak tahu ke mana tepatnya aku akan pergi—perjalanan ini memang tak punya peta, hanya hati yang menjadi kompas. Tapi aku tahu, hari ini aku membawa pulang lebih dari sekadar cerita. Aku membawa pelajaran dari kesederhanaan Mbah Sadiman—bahwa kekuatan seorang pemimpin tidak selalu lahir dari sorak-sorai atau lampu panggung, melainkan dari ketulusan yang konsisten, setia pada tujuan, meski harus berjalan sendirian. Di tengah dunia yang serba cepat, ia mengajarkan bahwa menanam kebaikan adalah perjalanan seumur hidup, bukan peristiwa sehari.
Aku memandang ke belakang sekali lagi, mencoba menangkap siluet pohon itu di antara hamparan ilalang. Tapi yang kulihat hanya cahaya sore yang memudar di cakrawala. Mungkin, seperti semua pemimpin sejati, kehadirannya memang tak selalu tampak—namun bekasnya akan selalu terasa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI