Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Engineer Kerasukan Filsafat

Priyono Mardisukismo - Seorang kakek yang suka menulis, karena menulis bukan sekadar hobi, melainkan vitamin untuk jiwa, olahraga untuk otak, dan terapi kewarasan paling murah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Berguru Pada Mbah Sadiman-Peraih Kalpataru Tahun 2016

16 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 16 Agustus 2025   10:18 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara mata air di samping kami terdengar lebih merdu setelah itu, seperti ikut menceritakan kisah perjuangan panjang yang sunyi namun tak sia-sia. Aku duduk diam, membiarkan waktu berjalan tanpa memikirkan jarum jam. Dalam benakku, aku membayangkan lereng Lawu yang dulu tandus kini hijau kembali, bukan oleh proyek besar atau dana miliaran, tapi oleh ketekunan seorang lelaki yang mungkin tak pernah berfoto sambil memegang piala, namun memegang sesuatu yang jauh lebih berharga—kehidupan.

Saat matahari mulai condong, aku berdiri, menyalami tangannya. Jemarinya keras, berurat, penuh bekas luka kecil—tanda kerja yang tak pernah berhenti. “Terima kasih, Mbah,” ucapku tulus. Ia hanya tersenyum, seolah ucapan itu bukan untuknya, tapi untuk pohon-pohon yang telah ia tanam.

Aku melangkah meninggalkan pohon itu dengan langkah pelan. Bayangan Mbah Sadiman tetap tertanam di benakku, seperti akar yang menyusup ke dalam tanah, tak terlihat namun menguatkan. Di dunia yang semakin riuh oleh suara dan citra, ia memilih jalan sunyi—menanam tanpa tepuk tangan, bekerja tanpa sorotan. Dari tangannya, lereng tandus berubah menjadi hutan, dan dari hatinya, lahir pelajaran tentang kepemimpinan yang tak lekang oleh waktu. Aku sadar, menjadi pemimpin bukanlah soal berdiri di puncak, melainkan mau berada di akar, menopang kehidupan tanpa pamrih. Dan mungkin, seperti mata air di bawah pohon itu, kebaikan sejati selalu mengalir diam-diam, tapi memberi hidup bagi siapa saja yang haus.

Aku kembali ke motor trailku, menyalakan mesin yang sudah agak dingin. Perlahan, aku memacu roda berdebu itu menyusuri jalan desa yang berkelok di antara persawahan, rumah-rumah kayu, dan anak-anak yang bermain di pinggir jalan sambil melambaikan tangan. Angin sore membawa aroma padi yang hampir panen, bercampur dengan sisa hawa sejuk dari mata air tadi. Aku tidak tahu ke mana tepatnya aku akan pergi—perjalanan ini memang tak punya peta, hanya hati yang menjadi kompas. Tapi aku tahu, hari ini aku membawa pulang lebih dari sekadar cerita. Aku membawa pelajaran dari kesederhanaan Mbah Sadiman—bahwa kekuatan seorang pemimpin tidak selalu lahir dari sorak-sorai atau lampu panggung, melainkan dari ketulusan yang konsisten, setia pada tujuan, meski harus berjalan sendirian. Di tengah dunia yang serba cepat, ia mengajarkan bahwa menanam kebaikan adalah perjalanan seumur hidup, bukan peristiwa sehari.

Aku memandang ke belakang sekali lagi, mencoba menangkap siluet pohon itu di antara hamparan ilalang. Tapi yang kulihat hanya cahaya sore yang memudar di cakrawala. Mungkin, seperti semua pemimpin sejati, kehadirannya memang tak selalu tampak—namun bekasnya akan selalu terasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun