Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis untuk Menyemai Idealisme

4 Februari 2024   21:35 Diperbarui: 4 Februari 2024   21:41 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang sedang menulis di depan laptop | Sumber : www.canva.com

Dalam sebuah grup penulis yang saya ikuti, seorang sahabat penulis yang baik hatinya pernah mengajak saya menulis mengenai suatu tema pilihan yang dilombakan. Sahabat ini memang luar biasa komitmennya dalam menulis. Dan beliau termasuk tipe penulis generalis yang bisa menulis berbagai tema dengan sangat apik. Berbeda dengan saya yang masih gagap menulis di luar tema keseharian saya : pendidikan.

Kami tergabung bersama sekitar 20 orang guru penulis pada sebuah grup whatsapp. Grup ini dulu terbentuk sebagai tindak lanjut pelatihan menulis KBMN yang diadakan oleh PB PGRI. Maka tentulah dominan anggotanya adalah para guru yang berasal dari Sabang sampai Merauke.

Anggota grup ini memiliki genre menulisnya masing-masing. Penulis opini, penulis fiksi, penulis citizen journalism semua berkumpul di sana. Dan banyak dari kami yang juga aktif menulis di platform menulis lepas Kompasiana.

Menulis bagi sebagian orang adalah hal yang mengasyikkan. Bagi sebagian yang lain menulis dianggap membosankan. Dan orang menulis tentu dengan maksud dan tujuannya masing-masing. Motivasi seseorang untuk menulis bisa saja berbeda-beda. Seperti sahabat saya tadi beliau menulis di berbagai genre dan tema agaknya untuk mengasah keluwesan corak menulisnya yang generalis dan bisa masuk di semua tema. Luar biasa memang.

Perkara Idealisme Menulis

Setiap penulis yang baik tentu memiliki idealisme menulisnya masing-masing. Idealisme dimaksud akan menjadi karakter dan ciri khas dari tulisan-tulisan yang dihasilkannya. Sehingga ketika pembaca membaca hasil tulisannya, mereka dapat langsung mengenali tulisan si penulis. Idealisme memberikan corak dan karakter kuat pada sebuah tulisan.

Saya selalu kagum dengan para tokoh pendiri bangsa kita. Karena hampir seluruh tokoh pendiri republik ini adalah seorang pembaca yang tekun dan penulis ulung. Sebut saja misalnya H.O.S Tjokro Aminoto, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Agus Salim, Tan Malaka, sampai pada tokoh-tokoh kiri seperti Semaoen, D.N Aidit, Nyoto, dan sebagainya. Semuanya sangat gila menulis. Buku-buku dan tulisan-tulisannya masih bisa kita baca sampai sekarang.

Bukan asal menulis, beliau semua menjadikan menulis sebagai media untuk mencurahkan idealisme berpikirnya. Untuk mencerdaskan dan membakar semangat rakyat yang saat itu tertindas dan menderita di bawah kungkungan kekejaman pemerintah kolonial. Akibat tulisan-tulisan itu hampir semua tokoh yang saya sebutkan di atas akhirnya meringkuk di balik jeruji penjara. Diseret oleh bengisnya hukum besi kolonial.

Lalu apa yang dilakukan di dalam penjara itu? Bersedih dan meratapi nasib? Tentu tidak! Beliau semua tetap menulis dan menulis. Pembaca pasti tahu pidato pembelaan Soekarno yang berjudul "Indonesia Menggugat". Pledoi itu beliau tulis dari balik jeruji besi penjara Sukamiskin Bandung. Pidato pembelaan yang brilliant itu ditulis pada selembar kertas di atas kaleng yang digunakan Soekarno untuk buang hajat saat di dalam penjara. Karena pledoi itu pada akhirnya Soekarno dibebaskan dari penjara Sukamiskin. Luar biasa bukan?

Tan Malaka bapak pendiri bangsa ini juga menulis banyak buku. Dan salah satu buku masterpiecenya yang berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) ditulis dalam tempo 8 bulan dari sebuah kamar pengap di daerah Rawajati, dekat sebuah pabrik sepatu di Kalibata, Pancoran, Jakarta saat beliau dikejar-kejar dan menjadi buronan pemerintah kolonial Jepang. Menjadi buronan dan nyawa sewaktu-waktu bisa melayang, masih sempat menulis buku monumental. Buku itu bisa kita baca sampai sekarang. Dahsyat!

Maka sangatlah tepat jika H.O.S Tjokro Aminoto pernah berujar bahwa jika ingin menjadi pemimpin yang hebat maka haruslah orang itu pandai berbicara selayaknya seorang orator ulung dan rajin menulis seperti jurnalis. Bukan pemimpin yang pidatonya dibuatkan oleh para staff ahlinya.

Guru Adalah Pemimpin

Seorang guru adalah pemimpin. Setidaknya pemimpin di dalam pembelajaran. Begitu kalimat yang sering terdengar dalam berbagai seminar dan buku-buku yang membahas tentang guru. Bahkan lebih jauh dari itu saya menganggap bahwa guru adalah pemimpin peradaban bagi bangsanya. Karena peradaban sebuah bangsa dibentuk dan diasuh oleh sistem pendidikannya. Jika sistem pendidikan bangsa itu maju maka bisa dipastikan bangsa itu juga menjadi bangsa dan negara yang maju. Demikian pula sebaliknya. Dan guru ada di dalamnya. Guru menjadi aktor utama bahkan motor penggerak dalam sistem pendidikan yang dibangun sebuah bangsa.

Guru tidak berdiri dan hidup dalam ruang-ruang hampa dan dimensi kosong. Tetapi guru hidup dan mengisi serta bergulat dalam ruang-ruang intelektual. Ruang-ruang intelektual itulah yang kita sebut dengan nama pendidikan. Maka secara cepat-cepat dapat kita simpulkan bahwa guru adalah kaum intelektual yang memiliki peranan besar untuk membentuk bahkan memimpin peradaban bangsanya menuju kemajuan. Tentu melalui instrumen yang bernama pendidikan itu tadi.

Betul apa yang disampaikan H.O.S Tjokro Aminoto bahwa pemimpin haruslah pandai berbicara dan rajin menulis. Sangat tepat dan sepakat. Maka saya pribadi pun meyakini bahwa guru dalam peranannya sebagai pemimpin dan kaum intelektual sudah seyogyanya menggandrungi kegiatan curah pikiran. Melalui media berbicara dan menulis.

Kalau hari ini para guru diarahkan pada satu mindset yang mengatakan bahwa guru jaman now sangat penting untuk melek teknologi dan rajin berkolaborasi melalui berbagai macam komunitas belajar saya pikir memang sudah seharusnya dan selayaknya demikian. Dalam komunitas belajar yang baik tentu ada proses dinamika tukar tambah pengetahuan. Proses belajar, bicara, menulis, dialog bahkan berdialektika. Karena seorang pemimpin tidak akan jauh dari kegiatan berpikir dan kegiatan belajar untuk mengasah kualitas pemikirannya.

Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag pernah menulis kalimat menarik dalam bukunya yang berjudul Metode Berfilsafat. Beliau berucap : "Kuasai dunia dengan ilmu, jalannya adalah belajar, senjatanya adalah menulis, kekuatannya berasal dari membaca, maka iqra', bacalah!". Kalimat tersebut menegaskan begitu pentingnya dan krusialnya kegiatan membaca dan menulis dalam kehidupan sehari-hari.

Menulis adalah senjata untuk mempelajari ilmu. Guru sebagai kaum intelektual tidak akan lepas dari kegiatan membaca dan menulis. Karena sejatinya itu semua adalah alat bagi guru itu sendiri untuk mengembangkan dirinya. Semoga semakin banyak para guru yang menyukai kegiatan tulis menulis. Bukan hanya asal menulis. Lebih jauh menggunakan menulis untuk mencurahkan idealisme berpikir yang mungkin terkadang terasa mengangan-angan. Tapi sejatinya di situlah eksistensi seorang manusia berada. Persis seperti ucapan Rene Descartes seorang filsuf rasionalis berkebangsaan Prancis yang terkenal dengan kalimat epic-nya : Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Curahkan pikiran melalui tulisan maka di situlah eksistensi guru sebagai kaum intelektual berada. Tetap semangat para guru Indonesia. Salam blogger persahabatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun