Mohon tunggu...
MIRANDA NASUTION
MIRANDA NASUTION Mohon Tunggu... Konsultan - Saya perempuan yang hobi menari. Saya anak ragil dari pasangan Alm. Aswan Nst dan Almh Tati Said. Saya punya impian menjadi orang sukses. Motto hidup saya adalah hargai hidup agar hidup menghargai Anda.

Tamatan FISIP USU Departemen Ilmu Komunikasi tahun 2007, pengalaman sebagai adm di collection suatu bank, dan agen asuransi PT. Asuransi Cigna, Tbk di Medan. Finalis Bintang TV 2011 oleh Youngth's management. Pimpinan Redaksi Cilik tahun 2002-2003 (Tabloid Laskar Smunsa Medan).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Putri Rembulan (Novel Klasik Keluarga)

26 Agustus 2018   16:44 Diperbarui: 3 September 2019   17:01 1998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Keesokkan harinya semua orang sudah berada di depan gunung yang tinggi. Orang-orang sudah siap dengan perbekalannya.  "Saudara-saudaraku sekalian mari kita mulai perjalanan kita," kata pangeran tertua. "Abangda sebagaiamana arahan kemarin. Adinda akan mengajari ilmu terbang kepada adik kita, Rembulan. Jadi, silakan abang dan saudara-saudara sekalian duluan berjalan," timpal Naga Swarna. "Kakanda izinkan, tetapi ingat setelah setengah jam dari sekarang. Kalian harus sudah menyusul. Rembulan harus benar-benar diawasi, karena medan begitu curam," lanjut Naga Buana. "Baik, abangda yang saya hormati," jawab abang kedua patuh. "Hati-hati ya abangda dan kakanda, Rembulan. Semoga selamat sampai tujuan," pangeran bungsu mendoakan. "Amin," jawab Naga Swarna dan putri Rembulan cepat.

            Seketika Naga Swarna memegang pinggang putri Rembulan dan mereka terbang. "Abangda, apakah beribu tahun yang akan datang manusia akan tetap bisa terbang seperti ini?" tanya putri Rembulan. "Abangda rasa tidak karena ilmu ragawi seperti ini akan digantikan oleh suatu ilmu  yang sangat canggih untuk membawa banyak manusia terbang dari satu tempat ke tempat lainnya," jawab pangeran Naga Swarna. Mereka pun semakin tinggi terbang ke puncak gunung tak lama kemudian mereka sudah sampai.  "Subhanallah, sungguh  besar kekuasaan Allah SWT," kata Rembulan takjub.

            "Oh ya abangda mengingat tuan Thoriq yang datang dari jauh. Apakah ilmu canggih tersebut akan ditemukan oleh para insan di negeri ini atau dari negerinya Ahmad Husein ya?" tanya putri Rembulan panjang.  "Kenapa bertanya seperti itu? Sepertinya kau mulai menyukai orang Arab yang tampan itu," jawab naga Swarna mendekati putri Rembulan yang sedang mencium bunga. "Iya, tapi sayang aku sudah terlanjur menyukai Maulana, tapi pertanyaanku belum dijawab abangda pangeran Naga Swarna." "Kalau suatu negeri bisa mengatur rakyatnya untuk belajar dan mencintai ilmu pengetahuan, maka negeri mana pun juga akan mampu melahirkan orang-orang jenius," pangeran Naga Swarna menjelaskan. "Abangda pangeran waktu yang diberikan pangeran sulung tidak banyak. Kalau begitu, sekarang ajari aku kunci ilmu terbang," pinta putri Rembulan sambil melihat ke bawah.

            "Pertama kau tidak boleh takut.  Kau harus bersahabat dengan ketinggian. Kau harus punya mental yang kuat. Kau harus berlatih terlebih dahulu," jawab Naga Swarna. "Karna aku sudah berlatih kemarin. Aku yakin ujian kali ini bisa aku lewati dengan baik." "Ya kau boleh mencobanya sekarang dan kau tahu kan abangda mu akan terus mengawasimu." "Baik aku coba sekarang," putri rembulan pun terbang ke dasar diikuti oleh pangeran Naga Swarna. "Luar biasa. Ternyata kau cepat belajar. Tidak semua orang secerdas kau putri Rembulan." "Memang tidak ada manusia yang sama persis di dunia ini, ha ha ha," jawab Rembulan dengan tertawa dan dibalas pula oleh pangeran kedua.

            "Kalau begitu kita segera menyusul saudara-saudara kita, termasuk saudara kita dari Arab," lanjut pangeran Naga Swarna lagi. " Benar sekali. Dalam ajaran Islam semua kita ini bersaudara," putri Rembulan menanggapi.

                                                                                                                                                                 """"

            "Mengapa kalian berdua gelisah sekali?" Naga Swara binggung melihat tingkah laku Andi Maulana dan Ahmad Husein. Lantas keduanya tersipu malu, karena gelagatnya diketahui. "Tenang, Naga Swarna dan putri Rembulan baik-baik saja," ucap pangeran bungsu yakin dan berharap dia yang sudah keceplosan memanggil sebutan putri, tidak ketahuan.

            "Bagaimana kalau kita tunggu saja di sini. Saya rasa mereka sudah menyusul," pendekar Andi Maulana memberi saran.  "Bagaimana  semuanya setuju?" Husein melengkapi. "Setuju." "Setuju." "Coba tutup telinga kalian," Naga Swara meminta karena maksud tertentu. Kemudian Naga Swara menjerit. "Apakah abangda dan kakanda sudah menyusul? Kami ada di sini." "Tiba-tiba ada kilatan cahaya menghampiri mereka dari depan. Itu tandanya pangeran Naga Swarna sudah mendengar pesan dari saudaranya dan sudah menyusul. Cahaya itu berasal dari kilatan pedang pangeran Naga Swarna. Tak lama kemudian satu keluarga ini sudah bertemu kembali. Semua tersenyum menyambut kedua orang yang baru saja dari puncak gunung ini, dan sekarang mereka mulai dari nol untuk mencapainya kembali. Mereka pun melanjutkan perjalanan.

            "Ini adalah pengalaman baru bagi kami," Yunus mengawali pembicaraan untuk mengisi perjalanan. Di sampingnya berjalan istri tercinta. "Bagi kami juga. Rasanya senang sekali bisa berjumpa Andi Maulana dan saudara Ahmad," sambung pangeran Naga Buana. "Saya juga begitu tersanjung abangda dari Arab dan abangda dari tanah Melayu mau menerima ajakan dari saya," jawara bertutur senang.  "Tujuan saya adalah agar kita lebih melatih diri untuk berjalan dan melatih kewaspadaan. Yang terkahir karena dengan berjalan banyak dilihat, maka ilmu kita akan bertambah. Jadi kita semua bisa  lebih kuat dan lebih luas cakrawalanya. Insya Allah," jawara Andi Maulana menyatakan tujuannya dengan suka ria.     

            "Awas hati-hati," Andi Maulana menangkap putri Rembulan dan Ahmad Husein pun melompat ke tempat yang sama. "Terima kasih," kata putri Rembulan. Fatimah dan Aisyah berada dalam pengawasan suaminya masing-masing. Mereka pun terus berjalan. Mereka awas dengan sekeliling. Hari pun berganti warna. Tadi terang kini sudah berubah warna sehingga semakin teduh. Kaki pun sudah terasa lelah. Tempat untuk berkemah sudah ditemukan. Para sekawan ini akan segera menegakkan ibadah sholat ashar. Setelah sholat mereka pun  beristirahat dan memakan perbekalan mereka.

            "Sedap sekali," seru putri Rembulan dan Naga Swara kekenyangan. "Rasanya enak sekali," balas Andi dan menyelesaikan suapan terakhirnya. "Siapa dulu yang buat?" Naga Swarna menambahi. "Terima kasih atas pujiannya. Alhamdulillah," sahut Fatimah dan Aisyah bersamaan dengan senang.  "Perjalanan selanjutnya lebih terjal. Jadi, harus lebih hati-hati," Andi memberitahukan.  "Sudutnya hampir 60 derajat," lanjut Andi lagi sambil mengambar sudut 60 derajat di tanah.  "Kami bisa membayangkan tubuh kita harus benar-benar menyesuaikan diri agar tidak jatuh," balas Husein dengan wajah menunjukkan bahwa ia telah paham.     "Menurutmu tuan Thoriq apa doa yang paling bagus dibaca saat bepergian," Naga Buana bertanya serius.  "Doanya adalah bismillahi tawakaltu allalahu lahawla wala kuwwata illabilahi 'alihil 'azim," jawab sang Arab cepat lantas melanjutkan kembali," Artinya adalah....".  "Doa adalah kunci ibadah.  Kita tidak boleh letih berdoa," nyonya Thoriq menambahi kalem.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun