Di sebelah kanan jendela ruang tamu terlihat dinding setinggi 3 meter dengan hiasan bunga-bunga yang indah. Pada sore hari, senja mulai datang hingga gelap menyelimuti langit… ada seorang perempuan memiliki rambut sangat panjang dan tebal menutupi badannya, terlihat seperti sedang duduk, badannya menjulang tinggi hingga melewati dinding setinggi 3 meter. Terdengar perempuan itu sedang mandi, gayung demi gayung air di tumpahkan ke kepala hingga membasahi rambutnya yang hitam dan panjang. Tak terlihat paras wajahnya, hanya badan bagian belakang itupun tertutup seluruhnya dengan rambut panjang, hitam dan sekarang menjadi basah di bawah gelapnya malam dan udara yang dingin pekat menembus setiap lubang krepyak jendela kaca ruang tamu.
Begitu cerita Bapak kepadaku malam itu, akupun sudah tak heran lagi bapak sering menceritakan apapun yang beliau lihat dan dengar. Beliau adalah seseoang yang memiliki kelebihan bisa melihat makhluk tak kasat mata. “Itu sebagai tanda nduk…tanda akan terjadinya suatu peristiwa ataupun yang akan menimpa kita” panggilan nduk dari Bapak yang sangat aku sukai, seolah aku yang paling di sayang beliau. Cerita bapak membuat aku susah tidur malam, semua ceritanya seperti sudah menancap di ubun-ubun kepala. Teringat ceritanya, terbayangkan jika sosok makhluk tak kasat mata itu tiba-tiba berdiri di depan atau belakang ku. Malam makin larut, akupun tertidur hingga pagi, suasana malam lenyap seketika begitu fajar datang, sinarnya menembus tirai jendela kamar.
Aku melihat Bapak sudah beraktifitas seperti biasanya, ambil cangkul yang disampirkan ke pundak, topi berwarna abu-abu dan meraih sepeda ontel dan dikayuhnya menuju ke sawah. Meski sudah berusia setengah abad lebih seperempat, dibalik badan yang tegap dan menjulang tinggi, beliau masih terlihat semangat dan berbadan sehat. Sebentar lagi aku mengantarkan sarapan yang sudah disiapkan ibuku untuk dibawa ke gubuk dekat galengan sawah. segera ku bersiap-siap untuk ke sawah membawakan sarapan untuk Bapak, ku gas motorku dan sesampai di tepi sawah dari kejauhan terlihat asri, hijau segar, daun padi mengayun-ayun ditiup angin sepoi. Disana juga sudah terlihat bapak yang sedang duduk di gubuk, seperti sudah menunggu sarapan yang aku bawakan…”Nduk… ayo segera di buka dan bapak mau segera makan bekal masakan ibukmu… setelah makan, bapak mau istirahat sebentar, karna pekerjaannya mau dilanjutkan pak parmin. mungkin nanti bapak pulang duluan” pinta bapak yang terlihat lelah dan lesu sambil membantu buka rantang bekal sarapan. Pikirku tidak seperti biasanya bapak yang terlihat seperti kelelahan, wajahnya sedikit pucat dan porsi makannya sedikit.
Sampai dirumah bapak langsung basuh kaki tangan dan muka, selain itu pakaian juga ganti yang bersih. Setelah itu langsung istirahat ke kamar. “Nduk, bapakmu kenapa kok pulangnya cepat? Apa bapakmu sakit? Terus yang lanjutin kerja siapa di sawah?” Tanya ibu sambil membereskan bekal rantang yang dibawa pulang. “Njeh ibuk… di sawah sudah ada pak parmin yang lanjutin kerjanya, tapi kurang tau bapak kenapa itu tadi terlihat lesu”.
Dua hingga tiga hari, kesehatan bapak semakin menurun, dari nafsu makan yang berkurang hingga jarang keluar kamar. Terlihat ibu sibuk merawat bapak hingga aku juga membantu apa yang dibutuhkan termasuk menyiapkan obat-obatan. Di suatu pagi, pukul 4 dini hari… “Nduk…nduuuk…tok…tok...tok...!!! Nduk… bapakmu !!!” tiba-tiba ibu menggedor-gedor pintu kamarku sambil berulang kali teriak memanggilku. Terlihat ibu sangat panik dan segera ku menuju kamar bapak, dan Astagfirulloh… tercecer darah di lantai yang di muntahkan bapak dari mulutnya. Berulang kali hingga terlihat badan bapak lemas tergelatak di kasur dengan dipan kokoh desain zaman belanda.
Melihat kondisi bapak yang sudah tidak berdaya, bergegas aku mengantar bapak ke rumah sakit bersama ibu. Sesampai di ruang IGD, perawat rumah sakit segera menangani bapak dan menunggu Dokter untuk diperiksa. Setelah kira-kira satu jam berlalu ternyata bapak di vonis sakit tukak lambung kronis. Telapak kaki pucat dan dingin mengharuskan bapak harus dirawat inap untuk beberapa hari. Segera aku menghubungi dan memberi kabar Kak Tyo, satu-satunya kakakku yang sudah berkeluarga dengan dua anak perempuan yang masih duduk di bangku SMP dan SD. Kak Tyo yang memiliki karakter super cuek, kaget ketika aku beri kabar bahwa bapak sedang di rawat di rumah sakit.
Aku berjalan bersama ibu mengikuti perawat yang sedang membawa bapak ke kamar inap dengan menggunakan tempat tidur pasien yang sudah terpasang infus di tangan kanan bapak. Di ruang Pacuna Casa bapak di rawat, dinding berwarna putih bersih, pintu dan plafond bernuansa warna oranye seperti berada di bangunan kuno zaman belanda. “Nduk… kamu temani bapak disini, biarkan ibukmu nanti malam yang menemani disini” celetuk bapak dengan nada lirih dan terlihat lemas.
Hari sudah mulai sore dan bapak terlihat tidak risau, aku keluar ke kantin sebentar untuk membelikan makanan untuk ibu setelah itu aku pulang untuk istirahat. Keesokan harinya, pukul tujuh pagi aku menjenguk bapak yang di kamar Pacuna casa sudah ada Kak Tyo dan juga ibu. Kebetulan sudah ada Kakak dan aku bisa mengantar ibu untuk pulang dan beristirahat di rumah. Aku menyiapkan sarapan yang sudah aku buatkan untuk Ibu dan memintanya untuk segera istirahat. “Kalo malam keadaan bapak gimana bu ??” tanyaku kepada ibuku. “Bapakmu itu kalau malam risau dan sering mengeluh kesakitan perutnya, jadi ibu bentar-bentar kebangun lihat kondisi bapakmu” jelas ibu sambil mau sarapan.
Usai sarapan ibu bergegas untuk istirahat dan tidur hingga sore, persiapan aku untuk mengantar ibu bergilir menemani bapak di rumah sakit. Di kamar terlihat Kak Tyo terburu-buru untuk segera pulang, disambarnya jaket di kursi dan bergegas berpamitan dengan kita semua. Aku pun berganti duduk di dekat bapak, sambil ku elus tangan nya…setengah ruas jari jemari tangannya terlihat pucat putih bersih. “Nduk…besok pagi kamu saja yang menemani bapak disini…bapak tidak mau Kakakmu yang merawat bapak disini, Kakakmu kasar ke bapak…” pinta bapak yang terlihat sedih dengan suara yang lirih. “Dan…kamu jangan keburu pulang Nduk…. Temani bapak dulu” tambahnya. “Njeh bapak…” jawabku singkat, tak tahan kelopak bawah mata membendung air mata ini seraya aku tak tega meninggalkan bapak dirawat Kak Tyo yang dibilang kasar oleh bapak.
Saat tidur… malam hari di kamar terlihat gelap dan suram. Dari jendela kamar ada banyak anak laki-laki berlari menuju ke bapak dan naik ke kasur. Semua anak-anak kecil itu menaiki badan bapak, mereka menginjak-injak badan bapak dan ada yang menusuk-nusuk perut bapak pakai pisau. Berkali-kali anak itu menusuk perut bapak.