Hukum Belanda mengizinkan force majeure berdasarkan Pasal 6:75 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek/BW). COVID-19 dapat dianggap sebagai force majeure, terutama jika pembatasan pemerintah membuat pelaksanaan tidak mungkin dilakukan. Yang juga relevan adalah doktrin keadaan tak terduga (onvoorziene omstandigheden) berdasarkan Pasal 6:258 BW.
Preseden Mahkamah Agung Belanda:
Sampai saat ini, tidak ada putusan HR (Hoge Raad) yang mengikat secara langsung dan meyakinkan yang menyatakan COVID-19 sebagai force majeure. Pengadilan yang lebih rendah (misalnya, Amsterdam, Rotterdam) telah memutuskan secara bervariasi:
- Jika penutupan/karantina yang dilakukan pemerintah secara langsung mencegah pelaksanaan force majeure diterima.
- Jika pelaksanaan masih memungkinkan, tetapi merepotkan atau mahal force majeure tidak diterima
Pasal 6.75 BW berbunyi sebagai berikut:
Overmacht
Een tekortkoming kan de schuldenaar niet worden toegerekend, indien zij niet is te wijten aan zijn schuld, noch krachtens wet, rechtshandeling of in het verkeer geldende opvattingen voor zijn rekening komt.
Terjemahannya:
Keadaan Memaksa
Suatu kerugiab tidak dapat dibebankan kepada debitur jika hal itu bukan disebabkan oleh kesalahannya, dan juga bukan karena pertimbangannya menurut undang-undang, perbuatan hukum, atau pandangan yang berlaku umum.
Pasal 6:258 BW berbunyi sebagai berikut:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!