"Kau berniat mundur?" Pertanyaan Ana lebih terdengar seperti keraguan.
"Andai aku bisa membiarkan perempuan lain mengisi hatiku, aku tak perlu lama menunggu Tia sejak SMA, Na. Kau tau itu."
"Setelah kau tau kondisi Tia, kau akan mundur?" Ana mencoba mendapatkan jawaban lagi dari Yuda.
"Ayolah... Ini bukan pertanyaan yang harus aku jawab. Aku sudah bertahan sejauh ini untuk Tia." Yuda menekankan kalimatnya.
"Sembuhin Tia. Sekali pun setelah sembuh dia akhirnya jatuh cinta pada orang lain, setidaknya aku bisa melihat dia hidup normal."
***
Yuda hanya bisa mencari tau perkembangan Tia lewat Ana. Dia bahkan terpaksa menerima tawaran pekerjaan di luar kota demi menjauh dari Tia. Dia tak ingin therapy demi therapy terselubung yang sudah dilewati Tia menjadi sia-sia. Sudah lima tahun Yuda bahkan hanya bisa menatap foto Tia yang diambil secara diam-diam oleh Ana atau Vera.
Vera bahkan sudah memiliki seorang anak, Ana juga sudah menikah. Tia kembali tinggal bersama Meta dan Fahri karena Ana tak mengijinkan Tia tinggal sendiri di kost. Tapi Yuda masih tetap dengan hatinya yang tak juga berpaling. Rindu entah sudah menggunung setinggi apa. Terkadang ketika Vera sedang melakukan hypnotherapy pada Tia, Ana juga mengajak Yuda menonton lewat video call. Tia begitu dekat. Hanya tak bisa disentuh. Begitulah cara Ana hari demi hari menjadi jembatan bagi Tia dan Yuda.
Yuda bergegas mencari tiket pesawat tercepat yang akan terbang ke Jakarta. Kabar terbaru yang diterimanya beberapa menit lalu membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.
Bertahan, Tia. Tolong bertahan.
Kalimat itu berulang-ulang diucapkan Yuda. Lebih baik bagiku melihat kau mencintai laki-laki lain, ketimbang harus melihatmu terbaring koma di rumah sakit. Ternate -- Jakarta yang membutuhkan waktu terbang 3 jam 25 menit itu rasanya berubah menjadi 3 tahun. Yuda gelisah di sepanjang penerbangan. Hampir empat jam dia tak bisa terhubung ke jaringan internet dan telepon selama mengudara.